Aku mencari musik bagus. Musik yang
untuk dinikmati, dihayati, dan dipahami. Ada banyak musisi di dunia ini yang
karyanya menyentuh emosi manusia. Seketika bisa saja membuat khalayak tertawa lalu berdansa. Seketika juga bisa membuat manusia termenung, tertidur, bahkan berlinang
air mata.
Bersamaan dengan itu, banyak musisi
yang terjun ke dalam realita sosial, agama, budaya, politik dan banyak hal.
Kritik tajam juga menusuk lewat nada dan syair yang diciptakan.
Setelah karya yang meledak, perubahan
terjadi. Setiap sudut bising dengan lagu sang maestro. Di jalanan, di restoran,
di kamar mandi, di ruang tamu, mungkin juga di ruang tunggu rumah sakit. Lalu
gaya rambut mulai seragam. Ya, berkat sang seniman. Salon cukur rambut padat,
orang-orang minta dicukur selayak sang idola, “Bang minta gaya Beatles dong”.
Tiba-tiba sang seniman menghilang.
Cukup lama. Timbul lagi dengan janggut lebat, penampilan yang agak semrawut, dan
mereka jadi hipster kala itu. Sungguh
berbeda, tapi tetap laku, inspiratif, juga imajinatif. Para penggemar kemudian
membiarkan janggutnya lebat agar terlihat sama seperti sang idola.
Koes Ploes juga disebut-sebut sebagai
replika sang legenda yang Indonesia banget.
Terkadang juga sang seniman menuai
kontroversi. Dia bikin gempar berbagai kalangan. “Kami lebih popular dari yesus,”
begitu katanya. Lantas saja ramai.
Kepedulian akan kemanusiaan juga
disentuh oleh banyak musisi, bahkan lintas Negara. Inggris-Amerika itu jauh, tapi
sang seniman sudah kepalang terjun. “Aku suka tinggal di New York, sama-sama
berbahasa inggris soalnya,” begitulah kira-kira seloroh sang musisi. Karya yang
berjudul Give peace a chance jadi soundtrack perjuangan kala itu. Jutaan
orang Amerika bersuara menentang perang Vietnam. Richard Nixon kebingungan. “Aduh aing jangar, kebijakan aing ditentang
sarerea. Goblog eta jelema, nanaonan urang ingris ngacak-ngacak nagara aing,”
demikianlah kurang lebih deskripsi kekalutan hati presiden negara yang katanya super power.
Lewat karya dan sikap sang seniman,
ia bagai jelmaan Mahatma Gandi, membuat kedamaian dengan damai dan cinta. Tanpa
perang dan angkat senjata, hanya selimutan di kamar sambil kampanye anti perang,
cara sang maestro ternyata mujarab. Orang-orang amerika tidak apatis, dan
perang pun usai. Sang musisi menggunakan cara gurunya, dengan cinta. Maka, All You Need is Love.
Beriringan dengan semua hal, kehidupan
cinta musisi juga gemar dibicarakan. Perceraian, pencarian, dan pencapaian juga
jadi sorotan. Sang maestro seperti menemukan tulang iganya. Mereka cocok.
Sama-sama mengalir darah seni dan sama-sama imaginatif. Mereka menikah, lalu
sang istri bernyanyi untuk sang suami, “Song
for John”. Aku terlelap mendengarnya, seolah ada yang sedang mengantarku
tidur. Asyik sekali kisah mereka ini.
Setelah banyak hal yang dialami,
hadirlah pertentangan. Sebuah band legendaris bubar, lalu sang vokalis memulai
karir solo. Meskipun begitu, sang vokalis masih saja inspiratif, masih banyak
yang mengaguminya, baaaaaaanyak
sekali.
Tiba-tiba ada orang brengsek yang
berlaga jadi malaikat kematian. Padahal, orang brengsek itu adalah
penggemarnya.
Sang maestro keluar dari sebuah
gedung. Ia masih membayangkan histeria penonton saat menyimaknya bernyanyi. Kehangatan
dengan sang istri dan anaknya yang masih kecil masih terasa di sekujur
tubuhnya. Orang-orang yang sedang mendengar karyanya bercucuran air mata di
dalam kamar yang lampunya redup. Media massa masih terus memberitakan sang
tokoh.
Ia terus melangkah keluar dari
gedung.
Mungkin orang-orang yang melihatnya
dari jauh berbisik pada teman sebelahnya, “Oh my God, he is John”. Legenda itu
jadi sorotan orang lewat di jalan. Mungkin juga Richard Nixon masih “gondok”
dengan yang dilakukan sang musisi.
Jedooorrrrr……………………………
Suara tembakan bergema.
Orang yang berlaga malaikat maut
beraksi gila.
“Orang yang membunuh John Lennon
adalah orang paling brengsek,” kata Paul Mc Cartney.
Rest in peace
John. Aku masih mendengarmu. Dan membayangkan semuanya.
Imagine!!!!!!!!!!!!!!!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar