Selasa, 09 Desember 2014

Imagine!!!


Aku mencari musik bagus. Musik yang untuk dinikmati, dihayati, dan dipahami. Ada banyak musisi di dunia ini yang karyanya menyentuh emosi manusia. Seketika bisa saja membuat khalayak tertawa lalu berdansa. Seketika juga bisa membuat manusia termenung, tertidur, bahkan berlinang air mata.
Bersamaan dengan itu, banyak musisi yang terjun ke dalam realita sosial, agama, budaya, politik dan banyak hal. Kritik tajam juga menusuk lewat nada dan syair yang diciptakan.

Setelah karya yang meledak, perubahan terjadi. Setiap sudut bising dengan lagu sang maestro. Di jalanan, di restoran, di kamar mandi, di ruang tamu, mungkin juga di ruang tunggu rumah sakit. Lalu gaya rambut mulai seragam. Ya, berkat sang seniman. Salon cukur rambut padat, orang-orang minta dicukur selayak sang idola, “Bang minta gaya Beatles dong”.

Tiba-tiba sang seniman menghilang. Cukup lama. Timbul lagi dengan janggut lebat, penampilan yang agak semrawut, dan mereka jadi hipster kala itu. Sungguh berbeda, tapi tetap laku, inspiratif, juga imajinatif. Para penggemar kemudian membiarkan janggutnya lebat agar terlihat sama seperti sang idola.

Koes Ploes juga disebut-sebut sebagai replika sang legenda yang Indonesia banget.

Terkadang juga sang seniman menuai kontroversi. Dia bikin gempar berbagai kalangan. “Kami lebih popular dari yesus,” begitu katanya. Lantas saja ramai.

Kepedulian akan kemanusiaan juga disentuh oleh banyak musisi, bahkan lintas Negara. Inggris-Amerika itu jauh, tapi sang seniman sudah kepalang terjun. “Aku suka tinggal di New York, sama-sama berbahasa inggris soalnya,” begitulah kira-kira seloroh sang musisi. Karya yang berjudul Give peace a chance jadi soundtrack perjuangan kala itu. Jutaan orang Amerika bersuara menentang perang Vietnam. Richard Nixon kebingungan. “Aduh aing jangar, kebijakan aing ditentang sarerea. Goblog eta jelema, nanaonan urang ingris ngacak-ngacak nagara aing,” demikianlah kurang lebih deskripsi kekalutan hati presiden negara yang katanya super power.  

Lewat karya dan sikap sang seniman, ia bagai jelmaan Mahatma Gandi, membuat kedamaian dengan damai dan cinta. Tanpa perang dan angkat senjata, hanya selimutan di kamar sambil kampanye anti perang, cara sang maestro ternyata mujarab. Orang-orang amerika tidak apatis, dan perang pun usai. Sang musisi menggunakan cara gurunya, dengan cinta. Maka, All You Need is Love.

Beriringan dengan semua hal, kehidupan cinta musisi juga gemar dibicarakan. Perceraian, pencarian, dan pencapaian juga jadi sorotan. Sang maestro seperti menemukan tulang iganya. Mereka cocok. Sama-sama mengalir darah seni dan sama-sama imaginatif. Mereka menikah, lalu sang istri bernyanyi untuk sang suami, “Song for John”. Aku terlelap mendengarnya, seolah ada yang sedang mengantarku tidur. Asyik sekali kisah mereka ini.

Setelah banyak hal yang dialami, hadirlah pertentangan. Sebuah band legendaris bubar, lalu sang vokalis memulai karir solo. Meskipun begitu, sang vokalis masih saja inspiratif, masih banyak yang mengaguminya, baaaaaaanyak sekali.

Tiba-tiba ada orang brengsek yang berlaga jadi malaikat kematian. Padahal, orang brengsek itu adalah penggemarnya.

Sang maestro keluar dari sebuah gedung. Ia masih membayangkan histeria penonton saat menyimaknya bernyanyi. Kehangatan dengan sang istri dan anaknya yang masih kecil masih terasa di sekujur tubuhnya. Orang-orang yang sedang mendengar karyanya bercucuran air mata di dalam kamar yang lampunya redup. Media massa masih terus memberitakan sang tokoh.

Ia terus melangkah keluar dari gedung.

Mungkin orang-orang yang melihatnya dari jauh berbisik pada teman sebelahnya, “Oh my God, he is John”. Legenda itu jadi sorotan orang lewat di jalan. Mungkin juga Richard Nixon masih “gondok” dengan yang dilakukan sang musisi.

Jedooorrrrr……………………………

Suara tembakan bergema.

Orang yang berlaga malaikat maut beraksi gila.

“Orang yang membunuh John Lennon adalah orang paling brengsek,” kata Paul Mc Cartney.
Rest in peace John. Aku masih mendengarmu. Dan membayangkan semuanya.

Imagine!!!!!!!!!!!!!!!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar