Senin, 30 Juni 2014

Bukannya Tak Suka Marawis dan Qasidah


Aku bukannya tak suka mendengar tetabuhan dari pesantren sebelah. Mereka tengah berupaya meningkatkan spiritualitas dirinya melalui musik. Puji-pujian terhadap Rasul kian dilantunkan dengan diiringi musik sejenis marawis dan qasidah. Sama seperti manusia yang gemar menapaki lembah pegunungan, menyelam jauh ke dasar samudera, dan berada di atap puncak gunung tertinggi seperti Mahameru dan Ciremai. Sebagian dari mereka merasa dekat dan semakin mengenal Tuhannya. 



Telinga ini seolah dimanjakan ketika mendengar Rindu Rasul dan Sajadah Panjang, puisi karya Taufik Ismail yang kemudian dimusikalisasi oleh Bimbo. Musik yang bertema agama ini tak hanya menjadi seni, lirik dan nadanya mampu menyentuh kehidupan spiritual yang paling dalam dari seorang manusia. Tak jarang seseorang menitikkan air mata kala mendengar lagu tersebut. 

Beberapa waktu yang lalu, setelah berbuka puasa, aku berbincang dengan Pungkit Wijaya, seorang penyair dari UIN Bandung. Baru-baru ini ia menjadi ketua Lesbumi Bandung Timur. Lesbumi adalah badan di bawah naungan Nahdlatul Ulama yang bergerak di bidang kesenian. Ia juga sependapat kalau musik dalam Islam tidak harus identik dengan qasidah dan marawis, harusnya kualitas seni yang terkandung lebih dari itu. “Agar lebih maju dan modern,” ia bilang. 

Lagi-lagi aku bukannya tak suka mendengar tetabuhan dari pesantren sebelah. Musik yang dimainkan dengan rebana itu belum menculik perhatian telingaku. Apalagi dimainkan di waktu panas terik matahari. 

Aku sering dengar lagu George Harrison, salah satu punggawa The Beatles. Judul lagunya My Sweet Lord. Aku suka lagunya, cara George mengemas lagu yang merupakan puji-pujian terhadap Tuhan amat menarik, padahal puji-pujian tersebut bukan untuk Tuhan dari agamaku. Suasana musik folk kental dalam lagu tersebut. 

Telingaku sempat akrab dengan musik yang disajikan Raihan, Snada, Hijaz, dan para musisi nasyid lainnya. Tapi sepertinya gaung nasyid sekarang agak redup. Dulu lagu-lagu nasyid sering disiarkan di televisi, tapi sekarang tidak. Mungkin karena tidak laku. Lagu-lagu yang mereka ramu cukup asyik. Banyak dari lagu mereka yang aku suka dan ingat sampai sekarang.

Aku bukannya tak suka mendengar tetabuhan dari pesantren sebelah. Coba saja kesenian di pendidikan keagamaan seperti pesantren memacu para santri agar lebih kreatif dalam berkesenian. Karya yang dihasilkan akan tidak melulu marawis dan qasidah. Bisa saja dipadukan dengan iringan harmonika, gitar, atau saxophone yang kental dengan irama blues, jazz, atau folk. Pasti orang-orang akan suka. Para santri juga akan dipacu kreatifitasnya untuk berdakwah dan meningkatkan spiritualitas seseorang lewat seni.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar