“Dibawah
kuasa tirani, kususuri baris jalan ini. berjuta kali turun aksi, bagiku satu
langkah pasti,” penggalan dari lagu "Buruh Tani"
entah dinyanyikan oleh siapa, dan sering dinyanyikan aktivis kampus kalau berdemo.
Dimalam minggu itu hampir dua jam aku habiskan
bersama teman-teman satu jurusan untuk menyanyikan lagu tersebut menyusuri
lampu merah di Simpang Dago sambil mengetuk setiap kaca mobil yang antri
menunggu lampu hijau. Satu persatu para pengemudi itu membuka kaca mobil mereka
untuk mengisi kardus yang kami sodorkan dengan rupiah. Sumbangsih orang-orang
baik hati ini rencananya akan kami salurkan untuk bakti sosial kepada sekolah
anak jalanan, di daerah Jatinangor, Sayang (nama daerah) tepatnya.
sepertinya kaki dan pita suara kami
mulai lelah. Kami menepi untuk mengakhiri cerita di Persimpangan Dago malam
itu. Lingkaran tak beraturan kami bentuk sambil berbagi cerita dan evalusi. Aku
masih asik memainkan si putih, nama gitar yang aku pinjam dari temanku bernama
Fitri, sambil mendengarkan beberapa patah kata dari ketua himpunan jurusan
kami.
Tiba-tiba segerombolan geng motor datang
menghampiri kami yang hendak pulang. Aku kira ada apa. Ternyata mereka punya
niat baik yang sangat membantu kami. Mereka turut berkontribusi dalam
penggalangan dana malam itu. Segerombolan geng motor ini ternyata memberikan
sekantung uang hasil turun ke jalan dan satu dus baju-baju bekas. Aku cukup
kaget, ternyata geng motor juga mau peduli untuk acara macam ini. Niat baik
mereka ternyata dipelopori oleh Iwan, salah satu anggota geng motor mereka dan
juga bagian dari panita Baksos.
Ya, solusi yang cerdas dengan memanfaatkan jaringan yang luas.
Volume mobil sepertinya mulai berkurang,
pertanda malam semakin larut. ½ malam sepertinya telah kami habiskan. Kaum
wanita yang turut hadir sepertinya didera gundah. Biasalah, wanita baik-baik
biasanya akan resah berlama-lama di
luar
pada malam hari. Motor-motor yang parkir disamping trotoar dinyalakan. Kami
bergegas menuju kampus yang sebelum pulang ke rumah atau kosan masing-masing.
Gedung kampus terlihat di pelupuk mata. Tepat di
depan rektorat kami duduk. Keping demi keping, lembar demi lembar kami hitung.
Selagi asik mengitung, tiba-tiba
terdengar suara seseorang yang memanggil namaku. Ternyata itu adalah Pimpinan
Umum (PU) Suaka.
Ojan, Begitulah teman-teman Suaka akrab
memanggilnya. Pucuk dicinta ulan pun tiba, ditengah gerombolan teman-teman Ojan,
tergeletak satu bungkus rokok, langsung saja aku sikat dengan penuh keyakinan.
Alamak, mantap kali rokok geratisan. Rupanya Ojan sedang berkumpul bersama
teman-teman KKM-nya.
Ada pemandangan yang membuat kelopak mata ini segar rupanya. Ditengah-tengah
mahasiswa semester akhir ini ternyata ada seorang wanita berkuliat putih, wajah
menarik, dan body aduhai.
Dengar-dengar sih itu Cinta Lokasinya
Ojan.
Asik juga ternyata berumpul dengan
mereka. Tetapi daya tarik yang paling memikat bukan pada wanita itu, melainkan
pada seorang lelaki berkacamata yang sedang memainkan gitar dengan merdu
membawakan lagu-lagu populer Zaman sekarang. Spontan aku ikut bernyanyi dengan
mereka walaupun belum sempat berkenalan satu persatu. Ternyata benar, musik
adalah alat pemersatu.
Orang-orang yang masih lekat dengan suka
cita KKM ini bubar, mungkin karena wanita berkulit putih itu pulang. Mungkin mereka menganggap tak
lengkap dimalam hari tanpa wanita, apalagi Ojan. Ya, Ojan.
Aku kembali pada teman-teman satu
jurusanku. Rupanya mereka sudah selesai menghitung dana yang terkumpul dari hasil mengamen.
Jumlahnya cukup memuaskan, sekitar Rp.
480.000,-
kita rauk malam itu. Angka itu melebihi ngamen kita yang pertama.
Satu persatu teman wanita kami pulang
untuk menuju si pulau kapuk. Tinggal kita kaum jejaka yang tinggal ditemani
beberapa orang lewat dan Satpam kampus.
Tak lama berselang, geng motor Iwan
datang bergabung bersama kami kembali dengan motor-motor yang mengingatkan kami
pada era 90-an kebawah. Rokok dan kopi menemani perbincangan manis kami malam
itu.
Udara semakin dingin, semilir angin
begitu dalam menusuk kulit, suara kendaraan tidak terlalu bising meraung-raung
di telinga. Suasana yang menunjukkan diatas pukul 12.00.
……………..
…………….
…………….
Cukup hening
……………..
……………..
………………
Braaaaaaaakkkkkkkkk.
Tiba-tiba suara keras mengagetkan kami semua. Kami serentak berdiri dan segera
menuju sumber suara. Mungkin itu suara motor terjatuh.
Ternyata benar dugaan kami sebelumnya,
sebuah motor bebek tergeletak disisi jalan tepat didepan kampus. Mata saya
langsung memburu mencari-cari korban. ternyata mereka berada cukup jauh dari
motor. Dua orang pengemudi
motor dan seorang temannya terkapar di depan pagar kampus. Aku langsung menghampiri
mereka untuk mengetahui
keadaan korban.
Alamak,
kaget bukan kepalang melihat keadaan mereka. Perasaan jijik, kasihan, takut,
campur aduk malam itu. Kecelakaan itu ternyata menggegerkan kami luar biasa.
Salah satu pergelangan kaki korban terputus, dadanya bergetar, matanya terbelalak dan putih.
Sementara korban yang satunya lagi masih sadarkan diri sambil melontar jerit kesakitan. “Aaaaaaaaaaa, aaaaaaaaaaaaa,
tolooooooong, tolooooong,” jerit si korban yang bercampur isak tangis.
Niat ingin menolong berubah derastis.
Ingin mendekat pun
enggan. “Telepon polisi, telepon polisi,” kata beberapa orang dari kami. Namun tak satu pun melakukan tindakan. Kami malah seliweran
tidak jelas kesana kemari karena panik. Tak lama kemudian satpam UIN yang masih
berjaga-jaga datang dengan nafas terengah-engah. Satpam yang mungkin sudah
terbiasa dengan peristiwa macam ini segera mengambil langkah dengan menghubungi
polisi.
Kami masih shock. Sesekali aku masih menghampiri korban karena penasaran
dengan potongan kakinya. Malam yang gelap sedikit mengaburkan pandangan.
Apalagi aku tidak berani mendekati korban yang sekarat itu. Sepertinya darah
mengalir deras dari kakinya. Wajar saja korban begitu parah. Mereka hanya
memakai celana pendek dan tidak mengenakan helm. Kecelakaan seperti itu tidak
mungkin disebabkan oleh laju motor yang pelan, ditambah lagi tikungan sebelum
kampus yang miring dan cukup tajam. Batu pembatas jalan pun hancur karena
terhantam motor.
Waktu cukup lama berlalu. Polisi tidak
kunjung datang. Sungguh tidak bisa membayangkan apa yang dirasakan oleh mereka.
Apalagi dengan korban yang kakinya terputus. Korban yang lain merengek
kesakitan. Terdengar isak tangis dari kejauhan. Berdiri tak mampu, bahkan duduk
pun tak bisa.
......................
………………
………………
………………
………………
Akhirnya aku merasa
sedikit lega. Mobil
patroli polisi datang. Mereka langsung menghampiri si korban. Aku yakin mereka pun
kaget bukan kepalang.
Para polisi terlihat
kebingungan. Sementara para pengayom masyarakat
itu melakukan evakuasi, kami malah menjauh
karena takut dimintai tolong. Aku dan teman-teman masuk
kedalam kampus dan melihat dari kejauhan aksi penyelamatan dari gerombolan
berseragam abu-abu dengan rompi warna hijau.
Jeritan kesakitan terdengar keras kala
polisi mengangkat bocah-bocah malang itu. Apalagi mereka diangkat kedalam mobil
bak terbuka yang seluruhnya besi dan bergelombang. Bayangkan apabila kaki korban
yang buntung itu terbentur besi saat
mobil melaju. Bayangan
yang begitu mengerikan.
Setelah kedua korban diangkat kedalam
mobil, para pahlawan kami segera meluncur dengan sirine mobil kebanggaan
mereka.
Kita
bisa menghela nafas dengan lega walau kaki dan tangan ini masih bergetar karena
kejadian mengerikan itu. Sekitar satu jam kami masih didepan kampus
membicarakan peristiwa yang baru pertama kali aku lihat. Sebenarnya, malam itu
aku berniat pergi ke Subang untuk menemani temanku, Teguh, pulang ke desanya.
Tapi kejadian itu serentak membuat kacau niat semula. Aku dan teguh sangat
enggan dan takut berpergian jauh. Menurut keterangan salah satu temanku, tempat
itu memang rawan kecelakaan. Beberapa hari yang lalu sempat terjadi insiden
yang tidak jauh berbeda dengan kejadian yang baru saja kami saksikan.
Setelah semua itu terjadi, kami bergegas
pulang. Cerita itu pun
masih berlanjut sampai keesokan harinya
Salman Nahumarury
Bandung, 15 maret 2012.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar