![]() |
Pantai Wainuelo, Nusa Ina, Maluku Tengah. |
Wajah
dan tubuhnya hitam pekat, berambut keriting, juga agak kumal. Nada bicaranya
lantang, ia sering bersahutan bak Tarzan di pusat belantara. Bahasa
Indonesianya fasih, tapi logat ketimuran masih menempel di lontaran tuturnya.
Ical, begitulah panggilan akrabnya. 3 Bulan lalu, tepatnya pada libur lebaran
Idul Fitri 2012, aku menyambangi tempat kelahirannya. Nusa Ina, pulau nenek
moyang orang Maluku dahulu tinggal. Nusa Ina juga lebih dikenal dengan nama
Pulau Seram. Tempatnya agak jauh dari kota Ambon, sekitar 4 jam. Arus tenang di tengah himpitan pulau-pulau kecil serta laju speed boat yang cukup kencang
terasa mengasikkan di sepanjang selat Ambon - Nusa Ina.
Aku
mengunjungi rumah Bibi waktu itu. Kediamannya hanya berjarak sekitar 20 meter
dari bibir pantai. Di depan rumah bibi, terdapat saung kecil tempat pemuda desa
kerap berbincang. Di situlah pertama kali aku melihat Ical, ada beberapa pemuda
desa lain bersamanya. Wajah orang Maluku memang terkesan garang, Ical memasang
wajah itu dipandanganku. Tapi yang perlu diingat adalah, tiadalah yang lebih santun
dan penuh kasih kala orang tua Maluku memberikan petuahnya pada siapapun, itu
aku rasakan.
Aku
sangat ingin berbaur dengan kelompok pemuda itu, tapi masih sedikit canggung.
Bayang
mentari sepertinya sudah cukup dekat dengan ombak. Diantar oleh sepupuku Udin,
Suasana petang yang sejuk kunikmati sambil menyusuri pantai. Beberapa buah
kelapa muda kami “sikat” dengan lahap menutup ngabuburit ala Pulau Nusa Ina.
Malam
menyapa. Ombak mendesir cukup kencang. Di sekitar cukup ramai. Ada yang main
petasan dan ada yang memutar lagu dansa cukup kencang. Saung di depan rumah
juga ramai. Untuk kedua kalinya aku melihat Ical, kali ini bersama lebih banyak
temannya. Tiba-tiba Udin mengajakku bergabung bersama gerombolan pemuda di
saung depan rumahnya. Udin mengenalkan aku pada mereka. Satu persatu aku
berjabatan dengan mereka, pun dengan Ical. Obrolan demi obralan kami lakukan.
Perbincangan itu sangat menarik. Mungkin karena kami berbeda latar dan budaya.
Aku memang keturunan Maluku, tapi aku besar di Tanah Jawa.
Tak
terasa, beberapa gelas kopi habis kami teguk bersama. Satu demi satu dari kami
pulang, tinggal aku, Udin, Ical, dan seorang perempuan yang aku lupa namanya,
padahal wajahnya manis. Kami membahas topik terakhir dari perbincangan itu,
tentang cita-cita dan kekecewaan seorang putra Maluku terhadap orang Jawa.
“Salman,
kamu mau jadi apa?” lontar Ical dengan sentuhan logat Ambon yang kentara.
“Gak tau, aku masih belum jelas. Dulu
pengin jadi praktisi hukum, tapi sekarang lebih sibuk jadi pegiat pers
mahasiswa,” jawabku.
“Kemarin
aku ikut tes masuk polisi, tapi gak
diterima. Mereka suruh aku kasih uang,” keluh Ical.
“Sekarang
dimana-mana memang begitu ya, gak di
Jawa, gak di sini,” balasku.
“Iya,
emang orang Jawa yang bawa-bawa budaya itu kemari. Dulu gak seperti itu, gampang masuk Polisi,” timpal Ical dengan nada
kecewa.
Kira-kira
begitulah isi perbincangan malam itu. Ical menganggap orang Jawa yang bawa
budaya KKN ke bumi yang elok itu. Sepupuku, Udin, pun menorehkan segumpal
kekecewaan dihatinya. Ya, karena mereka berdua sama-sama ingin masuk polisi,
dan sama-sama ditolak.
Mereka
mungkin memandangku lain, aku dianggapnya orang Jawa, padahal kami satu darah. Sentimen
mereka terhadap orang berambut lurus memang kerap terjadi, terutama di
Indonesia bagian timur. Hal demikian juga diceritakan Andreas Harsono dalam
bukunya “AGAMA SAYA ADALAH JURNALISME.” Andreas
pernah meliput fenomena yang terjadi di Papua, suku-suku yang khas dengan
rambut ikal.
Media
di Pulau Jawa praktis tak pernah memberitakan secara mendalam berbagai
pelanggaran hak asasi manusia di Papua. Seorang Mama (Sebutan seorang ibu yang
digunakan di Papua) bilang sudah tak bisa bicara soal nasib orang Papua. Sudah
habis keluhan mereka. Ada anggapan bahwa orang Papua kurang percaya dengan
wartawan rambut lurus.
Jawa
memang pusat segala aspek. Mungkin karena pembangunan negeri ini bersifat
sentralistik. Budaya KKN ramai menghiasi layar TV nasional. Tak usah membahas
korupsi di Indonesia, semua orang pasti bernada sama. Hati bak ditikam belati,
untaian kata yang dituturkan oleh Udin dan Ical serentak membuat seisi otak
berhenti sejenak. Aku berfikir. Dalih demi dalih aku utarakan kepada dua orang
putra Maluku ini. Seolah membela, padahal aku tidak membenarkan dan menyalahkan.
Maluku
adalah daerah dengan basis dua agama yang sangat kuat. Sebelum kerusuhan, Islam
dan Kristen saling mengulurkan tangan. Kearifan budaya lokal sangat kental dan
terasa. Jauh dari sentuhan barat, pun dengan praktik KKN yang mulai membudaya
pada masa kolonialisme, apalagi suap. Kerusuhan yang terjadi kisaran tahun 1999
– 2002 juga hanya topeng. Politik kekuasaan dan devide et impera yang sebenernya terjadi, seperti pada politik adu
domba yang dilakukan imperium Belanda terhadap beberapa kerajaan di Indonesia.
Hanya saja, Kolonial itu pemerintah. Jelas saja tak terlihat, mereka sibuk
dengan kedok propagandanya. Ingin menciptakan desentralisasi, ingin membangun,
menerapkan otomi, justru mereka yang sukses membangun koloni-koloni disana. Jika
berangsur, bukan NKRI yang jadi harga mati, tapi separatisme. Udin dan Ical
adalah contoh kecil dari kekecewaan kebanyakan orang timur.
Aku
mulai menjawab, seolah menenangkan.
“Itu
hanya oknum, tidak semua orang Jawa korupsi. Ini karena Jawa jadi pusat
segalanya. Dari mulai politik sampai sandal jepit ada di Jawa, dari mulai
pahala sampai dosa besar juga ada. Jadi, KKN itu fenomena negeri ini, bukan
soal suku,” kira-kira begitulah inti jawabanku. Ical sepertinya membenarkan
perkataanku.
Perbincangan
diantara kami mulai mereda. Sedikit demi sedikit, permasalahan tentang sentimen
etnis mulai surut. Nyiur pun semakin dimakan gelap. Di sekitar sudah sepi. Satu
atau dua orang saja yang lewat. Sepertinya Ical masih bersemangat untuk terus
berbincang, tapi aku diserang kantuk. Banyak hal yang aku dapatkan dari Ical,
termasuk kritik yang ia utarakan. Yang jelas bukan Jawa, Ambon, Sunda, Bugis,
Batak yang salah. Tapi kita, umat Muhammad SAW.
Salman Nahumarury
Bandung, 27 April 2012
Tutur bijak yang polos menjadikanku tahu dengan ini. (udah segitu ajah)
BalasHapusYa Ad, mari bershalawat...
BalasHapusBerisi dan terasa nikmat membacanya apalagi ditambah penggambaran suasana pantai nan romantis disana.
BalasHapusaku menunggu tulisan selanjutnya .__.