Rabu, 26 Desember 2012

Sentimen Orang Timur Terhadap Orang Jawa



Pantai Wainuelo, Nusa Ina, Maluku Tengah.
Wajah dan tubuhnya hitam pekat, berambut keriting, juga agak kumal. Nada bicaranya lantang, ia sering bersahutan bak Tarzan di pusat belantara. Bahasa Indonesianya fasih, tapi logat ketimuran masih menempel di lontaran tuturnya. Ical, begitulah panggilan akrabnya. 3 Bulan lalu, tepatnya pada libur lebaran Idul Fitri 2012, aku menyambangi tempat kelahirannya. Nusa Ina, pulau nenek moyang orang Maluku dahulu tinggal. Nusa Ina juga lebih dikenal dengan nama Pulau Seram. Tempatnya agak jauh dari kota Ambon, sekitar 4 jam. Arus tenang di tengah himpitan pulau-pulau kecil serta laju speed boat yang cukup kencang terasa mengasikkan di sepanjang selat Ambon - Nusa Ina.


Aku mengunjungi rumah Bibi waktu itu. Kediamannya hanya berjarak sekitar 20 meter dari bibir pantai. Di depan rumah bibi, terdapat saung kecil tempat pemuda desa kerap berbincang. Di situlah pertama kali aku melihat Ical, ada beberapa pemuda desa lain bersamanya. Wajah orang Maluku memang terkesan garang, Ical memasang wajah itu dipandanganku. Tapi yang perlu diingat adalah, tiadalah yang lebih santun dan penuh kasih kala orang tua Maluku memberikan petuahnya pada siapapun, itu aku rasakan.

Aku sangat ingin berbaur dengan kelompok pemuda itu, tapi masih sedikit canggung. 
Bayang mentari sepertinya sudah cukup dekat dengan ombak. Diantar oleh sepupuku Udin, Suasana petang yang sejuk kunikmati sambil menyusuri pantai. Beberapa buah kelapa muda kami “sikat” dengan lahap menutup ngabuburit ala Pulau Nusa Ina.

Malam menyapa. Ombak mendesir cukup kencang. Di sekitar cukup ramai. Ada yang main petasan dan ada yang memutar lagu dansa cukup kencang. Saung di depan rumah juga ramai. Untuk kedua kalinya aku melihat Ical, kali ini bersama lebih banyak temannya. Tiba-tiba Udin mengajakku bergabung bersama gerombolan pemuda di saung depan rumahnya. Udin mengenalkan aku pada mereka. Satu persatu aku berjabatan dengan mereka, pun dengan Ical. Obrolan demi obralan kami lakukan. Perbincangan itu sangat menarik. Mungkin karena kami berbeda latar dan budaya. Aku memang keturunan Maluku, tapi aku besar di Tanah Jawa.

Tak terasa, beberapa gelas kopi habis kami teguk bersama. Satu demi satu dari kami pulang, tinggal aku, Udin, Ical, dan seorang perempuan yang aku lupa namanya, padahal wajahnya manis. Kami membahas topik terakhir dari perbincangan itu, tentang cita-cita dan kekecewaan seorang putra Maluku terhadap orang Jawa.

“Salman, kamu mau jadi apa?” lontar Ical dengan sentuhan logat Ambon yang kentara.
Gak tau, aku masih belum jelas. Dulu pengin jadi praktisi hukum, tapi sekarang lebih sibuk jadi pegiat pers mahasiswa,” jawabku.
“Kemarin aku ikut tes masuk polisi, tapi gak diterima. Mereka suruh aku kasih uang,” keluh Ical.
“Sekarang dimana-mana memang begitu ya, gak di Jawa, gak di sini,” balasku.
“Iya, emang orang Jawa yang bawa-bawa budaya itu kemari. Dulu gak seperti itu, gampang masuk Polisi,” timpal Ical dengan nada kecewa.

Kira-kira begitulah isi perbincangan malam itu. Ical menganggap orang Jawa yang bawa budaya KKN ke bumi yang elok itu. Sepupuku, Udin, pun menorehkan segumpal kekecewaan dihatinya. Ya, karena mereka berdua sama-sama ingin masuk polisi, dan sama-sama ditolak.  

Mereka mungkin memandangku lain, aku dianggapnya orang Jawa, padahal kami satu darah. Sentimen mereka terhadap orang berambut lurus memang kerap terjadi, terutama di Indonesia bagian timur. Hal demikian juga diceritakan Andreas Harsono dalam bukunya “AGAMA SAYA ADALAH JURNALISME.” Andreas pernah meliput fenomena yang terjadi di Papua, suku-suku yang khas dengan rambut ikal.

Media di Pulau Jawa praktis tak pernah memberitakan secara mendalam berbagai pelanggaran hak asasi manusia di Papua. Seorang Mama (Sebutan seorang ibu yang digunakan di Papua) bilang sudah tak bisa bicara soal nasib orang Papua. Sudah habis keluhan mereka. Ada anggapan bahwa orang Papua kurang percaya dengan wartawan rambut lurus.

Jawa memang pusat segala aspek. Mungkin karena pembangunan negeri ini bersifat sentralistik. Budaya KKN ramai menghiasi layar TV nasional. Tak usah membahas korupsi di Indonesia, semua orang pasti bernada sama. Hati bak ditikam belati, untaian kata yang dituturkan oleh Udin dan Ical serentak membuat seisi otak berhenti sejenak. Aku berfikir. Dalih demi dalih aku utarakan kepada dua orang putra Maluku ini. Seolah membela, padahal aku tidak membenarkan dan menyalahkan.

Maluku adalah daerah dengan basis dua agama yang sangat kuat. Sebelum kerusuhan, Islam dan Kristen saling mengulurkan tangan. Kearifan budaya lokal sangat kental dan terasa. Jauh dari sentuhan barat, pun dengan praktik KKN yang mulai membudaya pada masa kolonialisme, apalagi suap. Kerusuhan yang terjadi kisaran tahun 1999 – 2002 juga hanya topeng. Politik kekuasaan dan devide et impera yang sebenernya terjadi, seperti pada politik adu domba yang dilakukan imperium Belanda terhadap beberapa kerajaan di Indonesia. Hanya saja, Kolonial itu pemerintah. Jelas saja tak terlihat, mereka sibuk dengan kedok propagandanya. Ingin menciptakan desentralisasi, ingin membangun, menerapkan otomi, justru mereka yang sukses membangun koloni-koloni disana. Jika berangsur, bukan NKRI yang jadi harga mati, tapi separatisme. Udin dan Ical adalah contoh kecil dari kekecewaan kebanyakan orang timur.

Aku mulai menjawab, seolah menenangkan.
“Itu hanya oknum, tidak semua orang Jawa korupsi. Ini karena Jawa jadi pusat segalanya. Dari mulai politik sampai sandal jepit ada di Jawa, dari mulai pahala sampai dosa besar juga ada. Jadi, KKN itu fenomena negeri ini, bukan soal suku,” kira-kira begitulah inti jawabanku. Ical sepertinya membenarkan perkataanku.

Perbincangan diantara kami mulai mereda. Sedikit demi sedikit, permasalahan tentang sentimen etnis mulai surut. Nyiur pun semakin dimakan gelap. Di sekitar sudah sepi. Satu atau dua orang saja yang lewat. Sepertinya Ical masih bersemangat untuk terus berbincang, tapi aku diserang kantuk. Banyak hal yang aku dapatkan dari Ical, termasuk kritik yang ia utarakan. Yang jelas bukan Jawa, Ambon, Sunda, Bugis, Batak yang salah. Tapi kita, umat Muhammad SAW.

Salman Nahumarury
Bandung, 27 April 2012

3 komentar:

  1. Tutur bijak yang polos menjadikanku tahu dengan ini. (udah segitu ajah)

    BalasHapus
  2. Berisi dan terasa nikmat membacanya apalagi ditambah penggambaran suasana pantai nan romantis disana.
    aku menunggu tulisan selanjutnya .__.

    BalasHapus