Rabu, 19 Februari 2014

REVIEW FILM “ALL THE PRESIDENTS MEN”



 Sinopsis
Film ini bermula dari kasus spionase, pencurian, dan penyadapan di salah satu markas milik Partai Nasional Demokrat, Watergate. Kemudian dua orang jurnalis The Washington Post mencoba untuk menguak kasus yang mereka anggap penuh konspirasi. Dua jurnalis tersebut yakni Bob Woodwart dan Carl Bernstein.
Kejanggalan kasus Watergate berawal dari persidangan lima orang terdakwa. Woodwart, yang kala itu hadir dalam persidangan mendengar bahwa salah satu terdakwa yang bernama James Mc. Cord adalah pensiunan konsultan keamanan CIA.
Kasus kian ditelusuri. Data yang dikumpulkan Woodwart menunjukan ada keterlibatan pemerintahan Richard Nixon, termasuk Penasehat Khusus Presiden dan beberapa pejabat penting lainnya. Setelah data dihimpun, ada dinamika dalam ruang redaksi nyatanya. Woodwart barulah Sembilan bulan menjadi jurnalis di surat kabar kenamaan Amerika tersebut. Hal itu membuat petinggi The Washington Post tak main gampang memberikan tugas itu kepada Woodwart. Pengalamannya masih dianggap dangkal. Setelah beberapa pimpinan bersitegang, barulah Woodwart diamanahkan untuk menelusuri kasus tersebut. Tak tak cukup satu, redaktur Washington Post juga menunjuk Carl Bernstein dalam peliputan skandal Watergate.
Lalu, apa hubungannya kasus Watergate dengan pemerintahan Richard Nixon yang merupakan presiden Amerika kala itu?  Woodwart mensinyalir, adanya campur tangan Gedung Putih dalam menyiasati pencurian dan juga penyadapan di markas Partai Nasional Demokrat. Lantas saja petinggi gedung putih tersandung kasus. Selidik punya selidik, orang-orang Nixon mencoba menyabotase kampanye politik pesaingnya dari Partai Nasional Demokrat. Saat itu adalah tahun politik Amerika, Nixon kembali menjadi kandidat calon presiden dan akhirnya menang.
Orang-orang diwawancara, data tertulis pun kian dihimpun, saatnya Woodwart dan Bernstein menunjukkan hasil liputannya. Mereka berdua amat yakin dengan hasilnya, juga menduga berita ini akan sangat eksklusif. Bahkan mereka kira, surat kabar nomer wahid Amerika yakni The New York Times tak memiliki informasi khusus terkait skadal Watergate. Namun, apalah yang mereka terima? Pimpinan Washington Post mengira tak ada yang istimewa dalam hasil peliputan. Data-data yang dihimpun rupanya masih dangkal. Isinya kering dan hanya menyangkut kulit luar dari kasus itu. Berita tentang Watergate belum jadi diterbitkan. Woodwart kecewa, pun dengan Bernstein. Walhasil, mereka mesti putar otak lebih keras.
Tidak jadi terbit, Woodwart dan Bernstein tak hentikan langkah. Tibalah saatnya Woodwart memanfaatkan jaringan yang ia miliki. Tentu untuk mengorek banyak informasi. Ia menghubungi kenalannya di Gedung Putih. Pertemuan rahasia dengan orang dalam pemerintahan ia agendakan. Orang ini akan jadi informan dalam kasus yang Woodwart dan Berstein telusuri.
Tibalah saat pertemuan rahasia, orang misterius itu dinamai Deep Throat. Woodwart menginginkan Deep Throat mengungkap semua yang diketahuinya tentang skandal Watergate. Namun Deep Throat tidak secara gamblang membeberkan semua hal, hanya kata kuncinya saja. Woodwart nampak bingung. Mesti darimana ia memulai? Akhirnya Deep Throat ingin agar Woodwart dan Berstein menelusuri uang berjumlah $25.000 yang ada di rekening salah satu tersangka pencurian. Kenapa harus uang itu? Karena dana tersebut mengalir dari Komite Pemenangan Kembali Presiden Richard Nixon ke rekening pelaku pencurian Watergate.
Pemberitaan tentang skandal Watergate tersiarkan. Gedung Putih gempar. Aksi dari dua wartawan ini menyeret beberapa nama penting di pemerintahan. Mulailah terkuak konspirasi pejabat tinggi Gedung Putih dalam kasus Watergate. Dalam proses peliputan, Woodwart dan Bernstein jadi sosok berbahaya. Hal demikian membuat agen khusus negara tak tinggal diam. Mereka berdua kerap dibuntuti mata-mata, gerak-gerik mereka diawasi. Bahkan, komunikasi yang dilakukan dua wartawan ini bisa jadi disadap. Deep Throat lah yang memberitahukan hal itu kepada Woodwart dan Berstein.
Usaha dua wartawan ini bukan tidak menghadapi batu sandungan. Banyak orang yang enggan mengungkap kebenaran saat diwawancara. Agen khusus negara mencoba menekan beberapa orang yang terlibat supaya mengunci rapat mulutnya. Woodwart dan Berstein mesti susah payah mencari narasumber yang sukarela menjadi kunci terkuaknya kasus. Belum lagi, akibat pemberitaan tersebut, pemerintah mengecam paktek jurnalisme yang dilakukan Washington Post. Menteri Penerangan Amerika saat itu, Ronal Ziegler, menganggap Washington Post telah menerbitkan pemberitaan yang keji terkait Watergate.
Woodwart dan Berstein tetap di garda depan, mereka masih di jalurnya meski tekanan politik menghujam Washington Post. Berita demi berita makin menyulitkan beberapa pejabat Gedung Putih untuk menutupi skandal Watergate. Nama-nama yang Woodwart dan Berstein ungkap dalam tulisan mereka perlahan mulai terseret ke meja hijau.
Akhirnya, dalam gelar perkara pengadilan, nama-nama yang diungkap Woodwart dan Bernstein dalam skandal kasus Watergate dinyatakan bersalah. Dalam salah satu bukti, Richard Nixon terlibat. Ia nyatanya menyetujui kegiatan spionase dalam kasus Watergate. Pemerintahan Nixon ambruk, kekuatannya melemah. Pada 9 Agustus 1974, Richard Nixon menyatakan mengundurkan diri sebagai presiden negara yang bergelar Adidaya.


Analisis
            Jika kamu mengharapkan adegan percintaan, jangan harap kamu akan menjumpainya. Juga tidak seperti film sejenis lainnya, Bang-Bang Club, 5 Days of War, atau Blood Diamond yang amat menegangkan dengan adegan-adegan perang dalam proses peliputan seorang wartawan. Film ini tidak begitu menghanyutkan penonton ke dalam konflik yang dibangun. Minim sisi hiburan, namun syarat dengan nilai-nilai jurnalisme.
            Woodwart dan Berstein menampilkan aksi kewartawanan pada level tertinggi, yakni investigasi. Ada sisi lain yang ditampilkan dua sosok ini dalam menelusuri skandal Watergate, bukan hanya sebagai wartawan namun juga detektif. Dalam film ini, saya amat terkesan oleh semua praktek jurnalistik yang dilakoni dua wartawan tersebut.

  1. Wawancara
Ada beberapa bagian yang menampilkan kepiawaian dua wartawan ini dalam mengorek informasi dari narasumber. Pada awal film, Berstein tak hanya menjadi sosok wartawan, tapi menjelma menjadi seorang perayu wanita. Kata-kata pujian seperti “cantik” terlontar dari mulut Berstein kepada wanita yang hendak ia wawancara. Sehingga, suasana yang dibangun antara narasumber dan wartawan teramat cair. Narasumber pun senantiasa memberikan informasi tanpa kesan menutupi.
            Proses wawancara pada tingkat yang lebih sulit pun menghadang dua wartawan ini. Dalam salah satu scene, Woodwart dimintai Deep Throat untuk menelusuri uang sejumlah $25.000 yang mengalir dari Komite Pemenangan Kembali Presiden Richard Nixon ke salah satu pelaku skandal Watergate. Lalu, penelusuran pun dimulai. Woodwart dan Berstein mengalami masa yang amat melelahkan. Mereka mewawancara puluhan orang yang bekerja di bagian keuangan pemerintahan untuk mengetahui aliran dana sebesar $25.000 tersebut. Mereka melakukannya Door to door. Putus asa hampir menghinggapi perasaan dua orang ini, tapi wawancara demi wawancara terus mereka lakukan. Akhirnya, mereka menemukan orang yang bersedia mengungkap untuk apa aliran dana tersebut. Ternyata dana itu digunakan untuk kegiatan spionase dalam kasus Watergate. Bayangkan, untuk mengetahui sebuah aliran dana saja, mereka berdua mesti mewancara puluhan orang bahkan sampai larut malam. 

  1. Pengumpulan Data
            Pada sebuah pemberitaan, hasil akan lebih akurat jika data tertulis didapatkan. Namun, data tersebut lebih sulit didapat ketimbang wawancara. Saya teringat kisah peliputan Karni Ilyas dalam buku “40 Tahun Jadi Wartawan”. Dalam sebuah liputan perkara di pengadilan, wartawan dengan suara khas mirip Doraemon itu belum puas jika hanya wawancara, sampai-sampai surat tuduhan jaksa dan Berita Acara Perkara (BAP) mesti pula ia dapatkan. Hal itu dilakukan untuk kelengkapan dan keakuratan isi berita.
            Bagaimana dengan Woodwart dan Berstein? Segera setelah  wawancara tidak menuai hasil, Woodwart dan Berstein mencari data tertulis. Sangat unik dan profesional, tidak hanya orang yang terlibat, bahkan hubungan antara narasumber primer dan sekunder juga dicari datanya. Semisal riwayat kampanye politik, daftar peminjaman buku perpustakaan, ratusan daftar pegawai yang bekerja di bagian keuangan negara, data transfer uang dari bank, sampai riwayat panggilan telefon tak luput dari selidik dua wartawan ini. Walhasil, berita yang disajikan tidak kering, namun padat informasi dan kaya akan data.
            Ada lagi hal istimewa yang dilakukan salah seorang wartawan Washington Post ini. Jangan kira dengan bersikap jujur dan polos akan gampang-gampang saja mendapat data tertulis, terlebih jika data itu disimpan oleh pejabat tinggi pemerintah. Dalam salah satu bagian film, Bernstein dibuat gusar karena tak kunjung dipertemukan dengan seseorang yang memegang bukti transfer uang $25.000 itu, padahal ia telah membuat janji pertemuan. Ia dibiarkan menunggu di Lobi Kantor oleh receptionist, Bernstein ditelantarkan selama kurang lebih enam jam. Dengan kecerdikan dan keberanian Berstein, ia berhasil mengelabuhi resepsionis dengan cara berbohong. Akhirnya Bernstein dapat bertemu dengan orang yang memegang bukti transfer tersebut.
            Hal demikian sah-sah saja. Dalam buku “9 Elemen Jurnalisme” karangan Andreas Harsono, hal tersebut boleh jadi dilakukan. Untuk memperoleh data atau bukti primer sebuah kasus, seorang wartawan sah-sah saja berbohong bahkan menyamar. Jika tidak demikian, data tidak akan didapat dan kasus tak akan terbongkar. Terlebih lagi, resepsionis tersebut telah menghalang-halangi dan menghambat kerja wartawan dibawahan tekanan deadline. Maka, saya lebih sepakat Bernstein tidak berbohong, melainkan cerdik mengatasi permasalahan. Jika tidak demikian, data paling penting dari kasus Watergate teramat sukar diperoleh.

  1. Penulisan Berita dan Dinamika Ruang Redaksi
Ada kaitannya antara film ini dengan kiprah wartawan pemula, terlebih lagi ia adalah pegiat pers mahasiswa. Secara pengalaman – menurut pimpinan The Washington Post – Bob Woodwart belumlah layak untuk meliput kasus setingkat skandal Watergate. Setelah bersitegang, barulah Woodwart diizinkan.
Ada salah satu bagian diawal film yang menyinggung soal dinamika keredaksian. Woodwart mengumpulkan hasil liputannya. Namun, tulisan Woodwart dikoreksi oleh Bernstein yang lebih senior berkiprah sebagai jurnalis. Mereka berdua berdebat soal kualitas tulisan. Bernstein menganggap tulisan Woodwart tentang Watergate tidak mempunyai titik fokus. Lead yang ditulis Woordwart tidak menentukan arah tulisan dan kejelasan orang yang terlibat.
Sebagai seorang wartawan, terlebih pegiat pers mahasiswa, kredibilitas seorang wartawan dipertaruhkan dalam tulisan. Maka koreksi dari teman sesama wartawan sangat penting sebelum disiarkan ke khalayak. Masyarakat akan bisa menilai kualitas wartawan bahkan juga media tempat ia bernaung. Jika saja tulisan yang dibuat kacau, bisa jadi seorang wartawan akan berperkara di Dewan Pers dan citra media yang bersangkutan akan memburuk. Namun, apabila sebuah tulisan dapat dipahami maksud, arah, dan substansinya, reputasi wartawan dan media yang bersangkutan juga meningkat. Maka, aturan mengenai penulisan teras berita, tubuh berita, struktur kalimat, EYD, dan lain-lain mesti diperhatikan betul-betul jika tak ingin bersinggungan dengan keredaksian dan publik tentunya. Koreksi dari redaksi sih biasa, namun judgement dari masyarakat yang cukup menyakitkan.

  1. Klarifikasi dan Follow up Berita.
Jika seorang wartawan menulis berita tanpa klarifikasi, berarti itu wartawan gila. Woodwart dan Bernstein tidak gila tentunya. Tahapan setelah mendapat data yakni klarifikasi. Woodwart dan Bernstein sangat ketat dalam klarifikasi. Mereka hampir tidak menerbitkan beritanya karena sulit mendapatkan klarifikasi. Padahal tekanan deadline dan redaktur begitu terasa. Sia-sia rasanya jika puluhan data bahkan ratusan data telah dihimpun namun ketika hendak menulisnya tidak mendapatkan klarifikasi. Mending tidak usah jadi menulisnya daripada dikutuk massa karena menulis berita yang berat sebelah. Berita yang kita tulis akan menjadi sumber fitnah dan sudah terjerat pelanggaran pidanan. Maka berhati-hatilah!
            Bernstein dan Woodwart juga serius dengan perkembangan infomasi terkait Watergate. Berita yang baik tentunya tak mencakup kulit luar, tapi mendalam dan terus diikuti perkembangannya, inilah follow up. Jika tidak demikian, tak mungkin dua wartawan ini dianugrahi penghargaan Putlizer. Betapa tidak, berita yang ditulis dua wartawan ini mengungkap pelaku kriminal yang melibatkan pejabat tinggi pemerintah, sampai tuntas, berakhir di pengadilan, dan Nixon menyerah.  

Selain dari sisi reportase, Woodwart dan Bernstein juga tak cukup mengandalkan data tertulis dan wawancara. Untung saja Woodwart mengenal Deep Throat yang berperan sebagai informan dalam penelusuran kasus. Hal ini berkaitan dengan jaringan yang dimiliki seorang wartawan. Dalam kasus kriminal yang bersinggungan dengan konspirasi politik pejabat tinggi pemerintah, anilisa dan jaringan jadi salah satu jalan untuk mengungkap kasus. Bisa jadi Deep Throat adalah barisan sakit hati Nixon, bisa juga nurani Deep Throat tak sejalan dengan praktek spionase sehingga dengan mudah membocorkan rahasia kepada Woodwart.
Dalam kasus lain di Indonesia, hal ini juga dilakukan wartawan yang tengah meliput kasus besar dan melibatkan pejabat tinggi. Dalam kasus skandal pajak terbesar di Indonesia misalnya, Metta Dharmasaputra, wartawan Majalah TEMPO, memanfaatkan orang dalam Polri untuk mendukung aksi peliputannya. Sehingga, skandal pajak yang dilakukan Asian Agri Group dapat terbongkar.



Kekurangan Film
            Saat diskusi bersama para awak Suaka dan anggota magang, Ajat sempat ngomong, “Bingung, tokohnya terlalu banyak.” Hal serupa juga yang saya rasakan. Akibat dari tokoh yang begitu banyak, saya sempat tidak fokus pada isi cerita, sehingga mengulang beberapa bagian film. Namun, hal tersebut wajar apabila melihat isi cerita. Mengapa? All The Presidents Men adalah film yang diangkat dari buku berdasarkan kisah nyata tentang skandal Watergate. Dalam kenyataanya pun tokoh atau pelaku yang terlibat sangat banyak. Hal ini cukup penting dilakukan agar penonton memahami film dan realita sebenarnya tentang skandal Watergate. Nama-nama yang ada dalam film sangat berpengaruh pada proses peliputan dan fakta terkait skandal Watergate tahun 1972. Penonton mesti tahu secara menyeluruh tentang Watergate dan siapa saja yang terlibat. Saya tidak akan membahas dari segi sinematografi. Selain kurang paham akan hal tersebut, saya kira film ini cukup memberikan pemahaman lebih jauh tentang film dan Jurnalisme.



Data Film
Produser                    : Walter Coblenz 
Pemeran  utama        : Dustin Hoffman dan Robert Redford
Tanggal rilis               : 4 April 1976

  


1 komentar: