Kamis, 06 Juni 2013

Pemburu Honor Seminar


“Prok, prok, prok, prok, prok.” Bunyi tepuk tangan itu nyaring terdengar. Tertuju pada lelaki paruh baya berperawakan gemuk berkulit gelap. Aku sebut ia sebagai orang di balik koran nomor 1 di Jawa Barat. Harian ini ia sulap sampai masuk peringkat 5 besar koran dengan tata bahasa yang baik dan benar se-Indonesia, Budhiyana namanya. Ia jadi pembicara terakhir workshop yang diselenggarakan Dewan Pers di Hotel Goldel Flowers kala itu.

Aku tak mau buang peluang. “Rama, kasih tabloid kita ke Budhiyana,” tuturku pada seorang admin twitter liverpulian Uin Bandung. Dengan sigap, Rama menghampiri Budhiyana. Mereka pun berfoto bersama dengan senyum yang menyeringai sambil memamerkan Tabloid Suaka pada lensa kamera. Seusai berfoto, Rama tampak girang seraya berkata kepadaku, “Anjir, urang meunang momen bray.” Agaknya, ia jarang bertemu tokoh besar di sepanjang hidupnya.

Para peserta mulai meninggalkan ruangan. AC yang menyala semakin membuat tubuh kaku. Sisa makanan masih tercecer di atas meja. Makanan khas hotel berbintang itu ingin aku kemas dan kubawa pulang,  tapi nanti orang akan bergumam, “Ah, tak tahu malu.” Beberapa anggota Suaka tengah asyik bercakap dengan Budhiyana. Sementara aku berbincang dengan beberapa teman pers mahasiswa di Bandung, sembari membagikan Tabloid Suaka.

Tiba-tiba, seorang lelaki berkumis tipis mirip Tukul Arwana memasang wajah agak lain. Aku mau cerita sedikit dulu tentangnya. Ia kerap menyebut rokok Gudang Garam dengan sebutan “Rokok bergizi.” Mungkin ia membandingkannya dengan Djarum Cokelat yang harganya murah, rasanya juga sedikit kecut. Dulu, rambutnya bak bulu rambai, terurai dan halus. Tapi kini tak lagi, ia memangkas rambut indahnya. Rambut panjang yang baru saja ia potong kerap jadi cercaan teman di sekitarnya. Pesonanya tak lagi maskulin. Sekarang rambutnya mirip bekas kekasih Rafi Ahmad.  Lelaki ini lantas dipanggil “Yuni Syara.”

Para peserta antre di pintu keluar, sementara si Kumis Tipis mulai gelisah. Resah hinggap di tubuhnya. Aku mulai mendekati antrean, si Kumis Tipis sudah lenyap dari pandangan. Ia mungkin blusukan kesana-kesini. Sepertinya, panitia memeriksa peserta yang keluar, entah apa yang diperiksa. Para panitia berbaris di depan pintu. 

Oh ya, saat mengantre, tiba-tiba saja aku teringat pada Anggara, anggota Suaka yang juga ikut workshop. Sesaat setelah seminar, Gara (panggilan sayang Anggara) bergegas menuju pintu keluar. Ia ingin segera mendapatkan sertifikat. Tapi, karena tak punya Id card, ia tidak bisa mendapatkan sertifikat. Terang saja, Gara baru datang sekitar satu jam sebelum workshop berakhir. Aku mulai menebak-nebak apa yang dipikirkan si Kumis Tipis, karena ia juga datang telat dan tak punya Id card. Tapi mustahil ia resah gara-gara tak bisa mendapatkan sertifikat. Aku kenal si Kumis, ia bukan tipe mahasiswa pemburu sertifikat seminar. Jangankan sertifikat, soal nilai pun ia tak acuh. Pasti ada hal lain di balik keresahannya.

Aku tiba di pintu keluar, lalu panitia memintaku menunjukkan Id card peserta. “Ini mba,” kataku sambil menunjukkan kartu identitas peserta. Kemudian panitia memberiku sertifikat. Tunggu dulu, tiba-tiba seorang panitia lain mengeluarkan sesuatu dari balik meja...........................................................................
***

Aku teringat cerita si Kumis Tipis setahun yang lalu. Workshop ini rutin digelar oleh dewan pers. Tahun lalu, si Kumis ikut workshop ini. Ia dengan teramat girang bercerita padaku panjang lebar seusai workshop. Lalu, kita mulai bertukar kata.

Ajing man, nyesel ente teu milu,” lontarnya dengan nada bergairah.
Emang kunaon kitu?” tanyaku dengan raut wajah penasaran.
“Aing dibere amplop, sabaraha cing?” katanya sambil bertanya balik.
Emang sabaraha kitu?” balasku makin penasaran.
“200 rebu men,” timpalnya dengan bangga.
Ajing, hanjakal aing teu milu,” sesalku teramat dalam.
***

  Kejadian tahun lalu membuat aku yakin akan sesuatu yang hendak dikeluarkan panitia dari balik meja. “Itu amplop,” ucapku dalam hati. Ah, kini aku tahu apa yang dipikirkan dan sedang direncanakan si Kumis Tipis. Amplop itu telah membuat si Kumis resah. Sudah datang telat, id card tak punya pula. Pasti ia tengah memikirkan cara mendapatkan amplop tersebut. 

Ruangan hotel berbintang itu makin lengang. Derap langkah pun kian sunyi. Aku lihat, sisa makanan bekas workshop masih berserakan di atas meja. Tak jauh dari ruangan, eskalator dibiarkan mati. Lalu, si Kumis Tipis membuka percakapan denganku. 

Ajing, aing teu meunang duit euy gara-gara teu boga id card,” cetus si Kumis.
Euh, salah sorangan datang telat,” ujarku.

Anggota Suaka yang lain bergerombol menuruni eskalator yang mati. Tentu saja, mereka pulang bawa amplop dari panitia, kecuali Rama, Gara, dan si Kumis Tipis beserta pacarnya. Tanpa melanjutkan percakapan dengan si Kumis, aku pun menuju pintu keluar hotel. Aku, si Kumis Tipis, Alin, Anggara, Rama, Faisal, Desti, Sarah, Ratu dan Rijal, anggota Suaka yang waktu itu hadir dalam workshop.

Singkat cerita, kami memutuskan untuk mampir ke Sorabi Arab. Tempat nongkrong si Kumis Tipis waktu SMA. Hanya aku, si Kumis, Alin, Gara, Rama, Rijal, Sarah dan Ratu yang ikut. Yang lainnya pulang karena tak bawa motor. Gara memboncengku, karena miss komunikasi, kami harus berputar-putar untuk sampai ke Sorabi Arab. Mesti nyasar sana-sini.
***

Lantang suara muadzin terdengar dari balik surau. Warna jingga terpancar dari lampu tepi jalan. Raut wajah si Kumis mulai cerah. Nampaknya, ada sesuatu yang menghalau rasa gelisahnya tadi. Sesampainya di Sorabi Arab, kami langsung menuju mesjid yang terletak di sebelahnya. Ditemani gemercik air yang menetes dari keran, aku mulai membuka cerita seusai solat magrib. 

Ente sih niatna teu tulus, datang ka seminar edeuk meunang duit. Jadi we ku Gusti dikitukeun,” kataku pada si Kumis.
Emang sih, niat urang teu baleg,” ujarnya membalas perkataanku.

Si Kumis tidak menyerah begitu saja. Ternyata, dengan seribu akal si Kumis mencari cara untuk mendapatkan amplop.
“Tapi heunteu oge da, hehe. Tadi urang minjem Id card ka si Hengki. Ku urang diberekeun ka si Alin. Jadi we si Alin meunang amplop,” ujar si Kumis dengan girang.

Pantas saja ia lega, amplop itu berhasil didapatkan walau harus dibagi dua dengan kekasihnya, Alin namanya. Cerita si Kumis Tipis tak jauh beda dengan Gara. Gara si pemburu serifikat yang gagal, sementara si Kumis Tipis sang pemburu amplop yang cerdik dan sukses. 


   Salman Nahumarury. Bandung, 06 Juni 2013.

3 komentar:

  1. pan urg ge meunang bray, make id card c saeful, eh faisal....ahahaha *indahnya dunia
    sagala ge da aya faktor A jeung B na!!!
    Amal jeung Bengeut....ahahaha

    puikiraneun tah :p

    BalasHapus
  2. Hahahaha, aduh maneh sagala mamawa bengeut mas bray.hahaha

    BalasHapus
  3. sialaaaaaaan -___________________-

    BalasHapus