![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgVUHsbEHC7sWJw-kQAaDB_551DcmVO64YJdSboEqKJAcSq_sYNy0LbWqNOdbvCuY0DFH-vI1UWO21wWqqP8dAvTJW2LTNvNhxr1Johr5qhdbJWE3Mmw5C91-zRopwc8xdNmBwQmjsUaG4/s1600/53amplopduit.jpg)
Aku tak mau buang peluang. “Rama, kasih tabloid kita ke
Budhiyana,” tuturku pada seorang admin
twitter liverpulian Uin Bandung. Dengan sigap, Rama menghampiri Budhiyana. Mereka
pun berfoto bersama dengan senyum yang menyeringai sambil memamerkan Tabloid
Suaka pada lensa kamera. Seusai berfoto, Rama tampak girang seraya berkata
kepadaku, “Anjir, urang meunang momen bray.” Agaknya, ia jarang bertemu tokoh
besar di sepanjang hidupnya.
Para peserta mulai meninggalkan ruangan. AC yang menyala
semakin membuat tubuh kaku. Sisa makanan masih tercecer di atas meja. Makanan
khas hotel berbintang itu ingin aku kemas dan kubawa pulang, tapi nanti orang akan bergumam, “Ah, tak tahu
malu.” Beberapa anggota Suaka tengah asyik bercakap dengan Budhiyana. Sementara
aku berbincang dengan beberapa teman pers mahasiswa di Bandung, sembari
membagikan Tabloid Suaka.
Tiba-tiba, seorang lelaki berkumis tipis mirip Tukul Arwana memasang
wajah agak lain. Aku mau cerita sedikit dulu tentangnya. Ia kerap menyebut
rokok Gudang Garam dengan sebutan “Rokok bergizi.” Mungkin ia membandingkannya
dengan Djarum Cokelat yang harganya murah, rasanya juga sedikit kecut. Dulu,
rambutnya bak bulu rambai, terurai dan halus. Tapi kini tak lagi, ia memangkas
rambut indahnya. Rambut panjang yang baru saja ia potong kerap jadi cercaan
teman di sekitarnya. Pesonanya tak lagi maskulin. Sekarang rambutnya mirip
bekas kekasih Rafi Ahmad. Lelaki ini
lantas dipanggil “Yuni Syara.”
Para peserta antre di pintu keluar, sementara si Kumis Tipis
mulai gelisah. Resah hinggap di tubuhnya. Aku mulai mendekati antrean, si Kumis
Tipis sudah lenyap dari pandangan. Ia mungkin blusukan kesana-kesini. Sepertinya, panitia memeriksa peserta yang
keluar, entah apa yang diperiksa. Para panitia berbaris di depan pintu.
Oh ya, saat mengantre, tiba-tiba saja aku teringat pada
Anggara, anggota Suaka yang juga ikut workshop.
Sesaat setelah seminar, Gara (panggilan sayang Anggara) bergegas menuju pintu
keluar. Ia ingin segera mendapatkan sertifikat. Tapi, karena tak punya Id card, ia tidak bisa mendapatkan
sertifikat. Terang saja, Gara baru datang sekitar satu jam sebelum workshop berakhir. Aku mulai
menebak-nebak apa yang dipikirkan si Kumis Tipis, karena ia juga datang telat
dan tak punya Id card. Tapi mustahil
ia resah gara-gara tak bisa mendapatkan sertifikat. Aku kenal si Kumis, ia
bukan tipe mahasiswa pemburu sertifikat seminar. Jangankan sertifikat, soal
nilai pun ia tak acuh. Pasti ada hal lain di balik keresahannya.
Aku tiba di pintu keluar, lalu panitia memintaku menunjukkan Id card peserta. “Ini mba,” kataku
sambil menunjukkan kartu identitas peserta. Kemudian panitia memberiku
sertifikat. Tunggu dulu, tiba-tiba seorang panitia lain mengeluarkan sesuatu
dari balik meja...........................................................................
***
Aku teringat cerita si Kumis Tipis setahun yang lalu. Workshop ini rutin digelar oleh dewan
pers. Tahun lalu, si Kumis ikut workshop
ini. Ia dengan teramat girang bercerita padaku panjang lebar seusai workshop. Lalu, kita mulai bertukar
kata.
“Ajing man, nyesel ente teu milu,” lontarnya
dengan nada bergairah.
“Emang kunaon kitu?”
tanyaku dengan raut wajah penasaran.
“Aing dibere amplop,
sabaraha cing?” katanya sambil bertanya balik.
“Emang sabaraha kitu?”
balasku makin penasaran.
“200 rebu men,”
timpalnya dengan bangga.
“Ajing, hanjakal aing
teu milu,” sesalku teramat dalam.
***
Kejadian tahun lalu membuat aku yakin akan
sesuatu yang hendak dikeluarkan panitia dari balik meja. “Itu amplop,” ucapku
dalam hati. Ah, kini aku tahu apa yang dipikirkan dan sedang direncanakan si
Kumis Tipis. Amplop itu telah membuat si Kumis resah. Sudah datang telat, id card tak punya pula. Pasti ia tengah
memikirkan cara mendapatkan amplop tersebut.
Ruangan hotel berbintang itu makin lengang. Derap langkah pun
kian sunyi. Aku lihat, sisa makanan bekas workshop
masih berserakan di atas meja. Tak jauh dari ruangan, eskalator dibiarkan mati.
Lalu, si Kumis Tipis membuka percakapan denganku.
“Ajing, aing teu
meunang duit euy gara-gara teu boga
id card,” cetus si Kumis.
“Euh, salah sorangan datang telat,” ujarku.
Anggota Suaka yang lain bergerombol menuruni eskalator yang
mati. Tentu saja, mereka pulang bawa amplop dari panitia, kecuali Rama, Gara, dan si Kumis Tipis beserta pacarnya. Tanpa melanjutkan percakapan dengan si Kumis, aku
pun menuju pintu keluar hotel. Aku, si Kumis Tipis, Alin, Anggara, Rama, Faisal, Desti,
Sarah, Ratu dan Rijal, anggota Suaka yang waktu itu hadir dalam workshop.
Singkat cerita, kami memutuskan untuk mampir ke Sorabi Arab.
Tempat nongkrong si Kumis Tipis waktu SMA. Hanya aku, si Kumis, Alin, Gara,
Rama, Rijal, Sarah dan Ratu yang ikut. Yang lainnya pulang karena tak bawa
motor. Gara memboncengku, karena miss
komunikasi, kami harus berputar-putar untuk sampai ke Sorabi Arab. Mesti nyasar
sana-sini.
***
Lantang suara muadzin terdengar dari balik surau. Warna jingga
terpancar dari lampu tepi jalan. Raut wajah si Kumis mulai cerah. Nampaknya,
ada sesuatu yang menghalau rasa gelisahnya tadi. Sesampainya di Sorabi Arab,
kami langsung menuju mesjid yang terletak di sebelahnya. Ditemani gemercik air
yang menetes dari keran, aku mulai membuka cerita seusai solat magrib.
“Ente sih niatna teu tulus,
datang ka seminar edeuk meunang duit. Jadi we ku Gusti dikitukeun,” kataku pada si Kumis.
“Emang sih, niat urang teu baleg,” ujarnya membalas
perkataanku.
Si Kumis tidak menyerah begitu saja. Ternyata, dengan seribu
akal si Kumis mencari cara untuk mendapatkan amplop.
“Tapi heunteu oge da,
hehe. Tadi urang minjem Id card ka si Hengki. Ku urang diberekeun ka si
Alin. Jadi we si Alin meunang amplop,” ujar si Kumis dengan girang.
Pantas saja ia lega, amplop itu berhasil didapatkan walau
harus dibagi dua dengan kekasihnya, Alin namanya. Cerita si Kumis Tipis tak
jauh beda dengan Gara. Gara si pemburu serifikat yang gagal, sementara si Kumis
Tipis sang pemburu amplop yang cerdik dan sukses.
Salman Nahumarury. Bandung, 06 Juni 2013.
Salman Nahumarury. Bandung, 06 Juni 2013.
pan urg ge meunang bray, make id card c saeful, eh faisal....ahahaha *indahnya dunia
BalasHapussagala ge da aya faktor A jeung B na!!!
Amal jeung Bengeut....ahahaha
puikiraneun tah :p
Hahahaha, aduh maneh sagala mamawa bengeut mas bray.hahaha
BalasHapussialaaaaaaan -___________________-
BalasHapus