Minggu, 28 April 2013

Saudara Bantai Saudara

    Tangis huru-hara agaknya tak pernah kering. Para mahasiswa yang baku hantam dengan aparat makin mencekam di jantung negeri. Bahkan dengan sesama pelajar yang menyandang predikat “maha.” Aduh, mesti darimana kita menjawab pertanyaan amat pelik tentang orang kita? Bahkan, Di Timur nusantara jua terjadi, orang-orang ribut-ribut soal tapal batas pedesaan.

    Di pagi buta, aku disambut miris begitu baca surat kabar. Terjadi di Indonesia Timur. Seperti yang kutulis diatas, warga desa Bikomi, NTT, pasang patok batas desa sembarang. Lantas warga desa Oe-Talus (Desa yang bersebalahan dengan Bikomi) jelas tak terima. Amarah membuncah, lalu saling hajar. Pukul ya balas pukul. Dendam memicu tragedi kian parah, hewan ternak milik warga Oe-Talus kena sabet sampai mati. Untung saja hanya hewan ternak yang mati. Bagaimana jika nanti leher orang yang kena sabet? Bukan pukul dibalas pukul, pasti darah dibalas darah.


    Atau ada peristiwa yang lebih parah. Kebetulan terjadi di tempat yang pernah kusinggahi, bahkan aku rindu ingin kesana. Sekitar empat bulan silam terjadi tragedi berdarah di Maluku. Warga desa Sepa, Maluku Tengah, kena sabet parang orang Hualoy. Tidak tanggung-tanggung, 5 orang kena bantai. Semuanya dari desa Sepa, tempat yang pernah kusambangi.

    Ini aneh, saudara bantai saudara sendiri bahkan sesama rambut keriting. Seharusnya bisa bangun tanah nenek moyang bersama. Di belakang rumah ada gunung menjulang, hewan ternak bisa hidup enak. Ladang pertanian tumbuh subur. Di depan pekarangan kekayaan laut seolah tak ada habisnya. Jutaan batu putih terhampar di tepian pantai, bahkan orang jepang juga ambil batu dari kita. Lalu orang kita ribut-ribut soal batas desa.

    Manusia tak lagi merasa ada hukum. Rupanya mereka punya hukum sendiri, mungkin namanya “Hukum parang”.  Saudara di pelosok sana pasti rindu kasih sayang penguasa. Mereka terus-menerus jadi korban orang di istana. Betapa tidak, mereka pasti merasa apalah gunanya meja hijau jika semuanya selesai dengan parang.

    Elit istana malah sibuk membuat dinasti. Setelah puas jadi penguasa, anggota keluarga mulai duduk di singgasana. Anak, menantu, suami, jadi prioritas legislator. Jika aku jadi penguasa, aku pun bisa. Nanti akan aku angkat tukang kebunku jadi legislator. Semua bisa berbuat demikian, namun demokrasi jadi cacat.

    Ribut-ribut soal kursi, lalu katorang lantas jadi budak kekerasan. Akhirnya, saudaraku di Timur, entah di Bikomi, Sepa, Hualoy, Oe-Talus, mungkin juga yang lainnya, pasti ingin buat negara sendiri. Belum lagi merasa jadi budak asing. Lalu bingung, sebenarnya kita tinggal di tanah siapa?


Salman Nahumarury
Bandung, 27 April 2013  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar