Minggu, 28 April 2013

Perayaan itu Berujung Sasar

     Dentuman drum bertabuh riuh berpusar di Auditorium utama Kampus Islam Negeri di Timur Bandung. Alunan musik keras itu menarik hasrat insani, ramai berkeliling di seputar. Muda-mudi hilir mudik bersilang lengan dengan pujaannya, saling memegang pinggul satu sama lain. Muda-mudi yang berhiaskan khas, khas dengan citarasa gahar.

    Biasanya, kala musik menggema, sekeliling dan di hadapan panggung, manusia serupa kesetanan dan saling beradu badan, saling sikut dan saling hantam. Kawula muda mengumbar eksistensi tanpa esensi. Gandrung musik kini bercampur mabuk, kaum hawa, mulus paha wanita tak berkain, kemudian  lalu-lalang berujung sasar.  Tanpa arah.

    Kemudian, seluruh raga ini kaget bukan kepalang. Tiba-tiba seorang lelaki, kira-kira kelas 2 atau 3 SMA, dengan tanpa rasa malu kencing di hadapanku, tepat di tengah jalan menuju mesjid. Cengangas-cengenges dan betapa sumringahnya bocah ini. Ia adalah salah satu dari gerombolan pemuda yang turut dalam perayaan konser gumbrang-gambreng itu. Rupanya, manusia kini buta. Bahkan tak tahu dimana tempat mengeluarkan kelamin. Lalu ia bersiul, menggoda wanita berkerudung biru langit yang melongok dari jendela lantai dua. “kadieu atuuuuhhh hey, kadieuuu,” teriak si bocah dengan lantang tanpa bercermin.

    Pusat acara berlangsung bersebelahan dengan mesjid. Ramai-ramai juga terdengar sampai ke mimbar mesjid. Hanya berselang beberapa menit saja, muda-mudi itu Ber-gorowok desa. Aku dibuat pusing oleh konser musik perayaan ulang tahun sebuah jurusan di kampus. Bahkan, tak ada yang kukenal, entah siapa dan dari mana bocah-bocah itu datang.

   Orang-orang meniru ekspresi kebanyakan. Bolehlah berucap kata orang Sunda, “Tuturut munding.” Mungkin ini proses, tapi proses yang meleburkan budaya kedalam ingar-bingar kemeriahan, hanya meriahnya saja. Hanya karena perayaan konser musik, manusia pesta pora menanggalkan malu. 

    Akar tradisi musik secara historis seolah menjelma liar. Blues, jazz, atau reaggea, terlahir dari rasa perih berbuah semangat juang dari kaum tertindas. Atau ekspresi kegelisahan rasa tak adil yang dirangkai kedalam nada. Tak hanya sekedar nada saja, bahkan rezim otoritarian dibuat kebakaran jenggot gara-gara padanan lirik yang terangkai nada. Walau akhirnya, karya itu berbalas rumah prodeo.

    Musik tidak demikian dengan realita. Bukan musik yang mencipta keadaan. Itu hanya orang-orang yang pusing bagaimana menghabiskan masa muda. Mungkin juga mereka sudah kepalang berbaur dengan zaman yang abu-abu ini. Bisa juga mereka dibingungkan dengan segala hal yang serba carut-marut, kemudian merasa bahwa perbuatan ini sah-sah saja karena memang tumbuh dalam kondisi yang carut-marut juga. Akhirnya, fenomena konyol ini jadi hal biasa. Kasihan bocah-bocah yang mesti makan mentah-mentah zaman ini.  

    Berkacalah!!! Paduan suara kecapi, suling dan angklung begitu menghangatkan segala. Tabuhan tifa (alat musik dari Maluku) membuat orang-orang berkumpul, seolah bersatu dengan nenek moyang dan tak lupa tanah pusaka. Atau sasando yang membuat harum nusantara. Saat alat-alat itu berharmoni, aku jadi paham bersikap pada tanah, daun, Atjeh, Sunda, Jawa, Bugis, Batak, Nias, Ambon, Papua, Dayak, Bali. Bukan malah kencing sembarangan atau membuat suasana malam jadi tak jelas. Itu terjadi di ibukota.

    Aku tak mau persalahkan musik. Karena bagaimanapun, kita bisa berbuat apa saja karenanya. Bisa berharap, berjuang, bersatu, bahkan bersedekah. Perlakukanlah ia dengan semestinya. Orang-orang itu cuma ikut temannya.

Salman Nahumarury
Bandung, 26 April 2013  



Tidak ada komentar:

Posting Komentar