Aku berkemas. Jaket, sweater dan
makanan aku masukkan kedalam ransel. Sempat mencari golok, namun tak dapat.
Berusaha meminjam sleeping bad juga
tak dapat. Saat itu baru separuh malam menuju tanggal 31 Desember 2012. Aku,
Norman, Pradi beserta 6 teman lainnya,
yang baru saja kukenal, bersiap untuk mendaki gunung papandayan di Garut. Puncak
gunung papandayan akan menjadi pelabuhan terakhir kami di penghujung 2012. Aku
pergi dengan perlengkapan seadanya.
Mentari bersiap menduduki
singgasananya. Jalan raya sudah ramai dengan lalu lalang kendaraan. Pukul 05.00
WIB kami berkumpul di Cileunyi. Aku dan Norman datang paling awal, sementara
Pradi dan yang lainnya masih dalam perjalanan. Sekitar pukul 06.00 WIB, semua
sudah kumpul. Kami naik ke dalam bus. Semalam aku kurang tidur, sepanjang
perjalanan aku terlelap. Tak terasa teman sebangku membangungkanku, ternyata
bus sudah merapat di terminal Garut. Cukup untuk membayar sisa tidurku semalam.
Beberapa gorengan aku santap sebelum
menapak jejak di lembah gunung papandayan. Angkot menuju kaki gunung segera
berangkat. Dalam perjalanan, beberapa bukit menyapa kami lebih dulu sebelum
tiba di gunung papandayan. Kiranya, Garut sangat elok dengan pesona alam
pegunungan.
Kabut menyambut di titik awal
pendakian. Udara dingin khas pegunungan menyapa kami. Ternyata, ada ratusan
pendaki di sana. Kami mengawali langkah dengan berdoa bersama.
Jalanan putih berbatu terbentang sejauh
mata memandang. Jalur itu cukup ramai oleh para pendaki. Jarak 500 meter dari
titik awal tercium bau belerang yang amat menyengat. Hawa panas belerang cukup
terasa. Tak ada sama sekali rerumputan hijau. Bau belerang semakin menyengat.
Asap kian tebal. Kami dikepung sumber asap belerang. Di sekitar hanya ada sumber
belerang. Beberapa kali aku ingin muntah, tak kuat menghirup aroma yang sangat
tidak sedap.
Sesekali aku terpeleset karena bebatuan
yang memenuhi ruas jalan. Kami sampai pada titik dimana bau belerang mulai
berkurang. Setidaknya, aku sedikit merasakan udara segar ditengah bau yang
sesak di rongga pernapasan. Kami beristirahat sejenak. Ada yang konyol waktu
itu, kami sudah jauh melangkah, terlebih melewati area yang tebal dengan asap
belerang. Ternyata, Pradi meninggalkan tiang tenda. Alhasil, Pradi harus turun
kembali untuk mencarinya. Gilanya, bukan menyimpan tas yang ada di pundaknya,
ia malah turun bersama beban yang pasti menyiksa ketika mendaki. Aneh, tapi
sudahlah, terkadang orang sering melupakan kecil untuk menemukan hal yang lebih
besar. Sembari menunggu Pradi kembali, aku mengambil dokumentasi, mengabadikan
momen yang pasti jadi cerita.
Pradi sudah kembali dengan tiang tenda.
Kami lanjutkan perjalanan. Kali ini jalur sedikit menurun. Berbeda dengan
sebelumnya, jalur yang kali ini dilalui hijau dengan rerumputan dan pepohonan.
Bau belerang sudah tak terasa. Sungai yang kami lalui menjadi batas sebelum
jalur menanjak kembali.
Kami mengambil rute yang lebih singkat.
Ternyata jalur semakin terjal. Keringat bercucuran, aku harus menanggalkan jaket
yang kukenakkan. Saat itu, Norman beberapa kali terpeleset. Pantas saja, karena
Norman hanya mengenakkan sandal jepit sebagai alas kakinya, padahal ini bukan
perjalanan biasa, kita membutuhkan perlengkapan yang mendukung perjalanan.
Untungnya banyak ranting yang bisa dijadikan pegangan.
Setelah perjalanan yang cukup melelahkan,
kami sampai di tempat perkemahan. Tak kusangka, tempat itu dipadati oleh para
pendaki, jarak antar tenda juga sangat berdekatan. Kami mulai mencari tempat
yang cocok untuk didirikan tenda. Semula, aku memutuskan untuk melepas detik
terakhir 2012 karena ingin menyepi, jauh dari keramaian kota. Aku ingin melebur
dengan dingin dan sunyinya suasana lembah. Tapi itu tak mungkin, mengingat
pendaki yang begitu banyak. Sudah pasti akan ada pesta kembang api nanti malam,
lalu apa bedanya dengan Dago atau tempat keramaian lainnya. Tempat yang cocok
sudah kami temukan. Ladang edelweiss yang mengitari tenda akan menjadi kawan tidur
nanti malam. Tenda mulai didirikan, pasak demi pasak kami tancapkan ke tanah.
Awan tiba-tiba gelap, udara dingin menyayat
kulit. Padahal, saat itu baru sekitar pukul 14.00 WIB. Kabut tebal mulai
menyapu ladang ilalang, pertanda akan turun hujan. Kami belum selesai
mendirikan tenda. Rintik-rintik hujan mulai membelah sore. Kami bergegas mendirikan
tenda. Namun, hujan semakin deras. Tetesan hujan menembus jaket yang aku
kenakkan. Tak sadar, aku sampai lupa untuk memakai jas hujan. Kami semua sibuk
mendirikan tenda. Maklum, tenda yang kami bawa berukuran besar, cukup untuk 15
orang.
Nyatanya, hujan terlampau deras. Semua
sudah basah kuyup, tenda pun belum
berdiri. Aku seperti diselimuti es, dinginnya menerobos pori-pori lalu menusuk
tulang. Seandainya kami tiba 20 atau 30 menit lebih awal, mungkin tenda sudah mejadi
pengahalau air hujan. Tapi apa daya, kami berangkat terlalu siang. Saat kutanya
rombongan lain, mereka sudah mulai mendaki sejak pukul 04.00. Pada saat itu,
aku baru bangun, yang lainnya mungkin masih saja terlelap.
Tenda pun berdiri, namun air masih
menggenang di dalam. Aku harus menyeka air yang memenuhi hampir setiap sudut
tenda. Yang lainnya masih berupaya agar tenda berdiri sempurna, sebagian ada
yang menggali parit. Hujan mulai surut, tenda sudah siap untuk ditempati. Satu
per satu dari kami masuk kedalam tenda, udara pun mulai hangat. Kami mulai
bebincang dan tertawa sembari melepas lelah. Suasana akrab mengalir ditengah
kami. Tak terasa, perut ini meraung-raung menagih haknya. Mie rebus kami santap
setelah kopi panas yang rasanya melumer nikmat di pangkal lidah. Lelah seolah
memanjakan raga, kami berbaring sejenak ditemani gemercik hujan yang menggenang
di sekeliling tenda.
Suasana nyaman tak berlangsung lama.
Hujan besar berpadu angin kencang menerpa tenda, kencang dan semakin kencang.
Saat itu aku masih berbaring, kurasakan dingin di punggung. Ternyata air sudah
menggenangi seisi tenda. Rupanya, parit yang mengitari tenda tak cukup
menampung derasnya air hujan. Sepertinya kami salah memilih tempat, segera kami
tengok keadaan di luar tenda. Pantas saja air masuk kedalam, ternyata tempat
kemah persis berada ditengah aliran air. Ketika kami keluar, air mencapai mata
kaki, tak ayal jika air menggenangi tenda. Kami putuskan untuk pindah lokasi.
Pradi dan Norman mencari tempat baru, aku dan yang lainnya bersiap di dalam
tenda. Semua perlengkapan kemah yang sudah dikeluarkan harus kami kemas
kembali, dan kondisinya serba basah. Alas tidur basah, makanan basah, pakaian
apalagi, sleeping bad milik beberapa
temanku juga tak luput digulung air.
Pradi dan Norman sepertinya sudah
menemukan tempat baru, namun kami masih harus berunding tentang tempat itu. Aku
segera mencari alternatif lain. Ada dua tempat yang kiranya cocok untuk
dijadikan lokasi yang baru. Tempat yang aku dapatkan tidak jauh dari lokasi
semula, sementara tempat yang ditemukan Pradi dan Norman berada cukup jauh.
Di kejauhan, aku melihat kilat yang
memecah langit senja. Beberapa rombongan pendaki juga sepertinya bernasib sama.
Mereka sibuk hilir mudik memindahkan tenda. Aliran air yang membelah kaki
semakin tinggi. Bodoh, betapa cerobohnya kami ketika memilih tempat yang serba
beresiko itu. Pantas saja area kemah sepi, para pendaki yang lain pasti sudah
memprediksi bakal begini jadinya, mereka jadi enggan berkemah di sini.
Sudah diputuskan, bahwa yang akan
menjadi lokasi kemah yang baru adalah tempat yang ditemukan Pradi dan Norman.
Segera kami membagi tugas, sebagian memindahkan barang, sebagian lagi mengemas
tenda. Lawan yang menghadang kami kala itu adalah dingin. Jari jemari
sepertinya mati rasa, ruas-ruas telapak kaki ini mengkerut, perut makin cepat
lapar.
Malam lekas datang, gelap tengah
bersiap mencekam lembah, saat itu waktu menunjukkan sekitar pukul 17.30.WIB. Medan
kali ini cukup sulit, karena lahannya sempit dan terhalang oleh pohon. Pasak
demi pasak kami tancapkan. Tali kami ikat pada batang pohon dan ranting. Waktu
cukup lama bergulir, seharusnya kami sudah tidur dari tadi. Tubuh sudah tidak
kuat menahan dingin yang membuat kaku persendian.
Tenda tegak kembali. Barang-barang kami
masukkan ke dalam tenda. Senter kami nyalakkan berhubung malam sudah merajai,
gelap. Kami baru selesai mendirikan tenda sekitar pukul 19.00 WIB. Kondisi
dalam tenda lebih parah dari sebelumnya. Semua serba basah, bahkan alas tidur
pun ikut basah. Aku bingung mesti tidur dimana nanti, tapi lempung terlanjur
mengeras, nikmati saja malam yang aneh ini.
Oh ya, sebelum aku menuliskan ending situasi serba sulit ini, aku
teringat pada rombongan keluarga yang kami jumpai ditengah perjalanan. Wanita
paruh baya bersama keluarga besarnya, lengkap dengan dua putrinya yang masih
kecil, mungkin belum tamat kelas 5 SD. Dua anak kecil ini terlihat amat lugu,
badannya gempal, salah satu dari mereka mengenakkan baju warna pink. Kami beberapa kali berpapasan
dengan mereka saat mendaki, pun saat istirahat di beberapa tempat. Seorang
wanita dari rombongan ini sempat menawarkan aku makan. Aku terbayang betapa
repotnya keluarga ini jika mengalami hal sama seperti yang kami alami. Aku
yakin, saat kami mendirikan tenda yang pertama, rombongan keluarga ini masih
dalam perjalanan. Mereka tertinggal jauh, karena saat kami lewat, keluarga ini
sedang asyik bersantap ria. Apa jadinya ketika mereka diserang hujan saat dalam
perjalan. Betapa sialnya keluarga ini, kami saja kewalahan. Tapi itu hanya
terkaanku saja. Bisa saja mereka menemukan gua dengan lubang yang besar
sehingga bisa berlindung disana. Tapi tak mungkin, maka lupakanlah.
Detik-detik menuju pergantian tahun
semakin dekat. Kami baru saja meneguk susu jahe hangat yang dibawa Pradi.
Bagian atas tubuh memang hangat, tapi lain hal dengan tubuh bagian bawah. Alas
yang kami duduki masih basah karena diguyur hujan saat pindah dari lokasi yang
pertama. Dari tadi kami sibuk mendirikan tenda, sementara perlengkapan pokok
seperti ransel beserta isinya dibiarkan basah kuyup.
Hujan masih saja deras. Seharusnya,
kami sudah duduk mengelilingi api unggung menjelang tahun baru 2013. Tapi kami
malah terpenjara di dalam tenda. Tanpa pikir panjang, kami segera memutuskan
untuk tidur tanpa makan malam terlebih dahulu. Persoalan lain datang, karena
alas tidur kami basah, kami bingung mesti tidur dimana. Terlebih lagi jaket dan
beberapa pakaianku juga basah. Jari-jari kakiku sungguh merasakan dingin yang
teramat sangat, padahal aku sudah mengenakkan kaus kaki. Temanku yang lain juga
merasakan hal yang sama, Sleeping bad yang mereka bawa tidak bisa digunakan
karena basah, kami semua bernasib sama. Sekitar pukul 20.30 WIB kami semua
mulai berbaring tanpa peduli semua yang terjadi. Kami paksakan untuk pulas, dan
tidur pun berkalang air. Tahun baru 2013 hanya kami lewati dengan tidur
panjang dan teramat dingin.
Ternyata, tahun baru 2013 harus kami
sambut dengan tidur yang sangat tidak pulas. Aku bingung harus berkata apa
untuk menggambarkan situasi yang dialami oleh Sembilan pemuda ini. Tapi yang
pasti ini konyol. Pasangan muda mudi di kota mungkin sedang bercumbu dengan
gemerlap kembang api, sementara kami meringkuk kedinginan. Tapi ini yang
menarik, jika tidak mengalami hal demikian, cerita tentang tahun baru akan sama
seperti tahun sebelumnya. Memang ramai, namun datar karena keramaian dan
kesenangan di tahun baru itu biasa. Hal yang kami alami pasti akan jadi cerita
yang amat seru setiap menyambut tahun baru yang akan datang. Pasti teringat, basah,
dingin, susah, air yang jadi kalang, sampai melewati tahun baru 2013 dengan
tidur panjang. Ini semua berkat kecerobohan kami, alhasil kami harus melewati
kondisi yang sulit ini. Semoga di tahun baru 2013 kita lewati dengan segala
kehati-hatian dan penuh pertimbangan agar menuai hasil yang indah. Selamat
tahun baru 2013.
Salman Nahumarury
Bogor, 5 Januari 2013
Salman Nahumarury
Bogor, 5 Januari 2013
Bodoh, kamu dan teman-temanmu hanya berpamer saja. Itu hanya membuatku ingin mandi.
BalasHapusItu karena lu ga di ajak bego.haha
BalasHapus