Minggu, 06 Januari 2013

Tahun Baru 2013, Tidur pun Berkalang Air

Aku berkemas. Jaket, sweater dan makanan aku masukkan kedalam ransel. Sempat mencari golok, namun tak dapat. Berusaha meminjam sleeping bad juga tak dapat. Saat itu baru separuh malam menuju tanggal 31 Desember 2012. Aku, Norman, Pradi beserta  6 teman lainnya, yang baru saja kukenal, bersiap untuk mendaki gunung papandayan di Garut. Puncak gunung papandayan akan menjadi pelabuhan terakhir kami di penghujung 2012. Aku pergi dengan perlengkapan seadanya.

Mentari bersiap menduduki singgasananya. Jalan raya sudah ramai dengan lalu lalang kendaraan. Pukul 05.00 WIB kami berkumpul di Cileunyi. Aku dan Norman datang paling awal, sementara Pradi dan yang lainnya masih dalam perjalanan. Sekitar pukul 06.00 WIB, semua sudah kumpul. Kami naik ke dalam bus. Semalam aku kurang tidur, sepanjang perjalanan aku terlelap. Tak terasa teman sebangku membangungkanku, ternyata bus sudah merapat di terminal Garut. Cukup untuk membayar sisa tidurku semalam.

Beberapa gorengan aku santap sebelum menapak jejak di lembah gunung papandayan. Angkot menuju kaki gunung segera berangkat. Dalam perjalanan, beberapa bukit menyapa kami lebih dulu sebelum tiba di gunung papandayan. Kiranya, Garut sangat elok dengan pesona alam pegunungan.

Kabut menyambut di titik awal pendakian. Udara dingin khas pegunungan menyapa kami. Ternyata, ada ratusan pendaki di sana. Kami mengawali langkah dengan berdoa bersama.

Jalanan putih berbatu terbentang sejauh mata memandang. Jalur itu cukup ramai oleh para pendaki. Jarak 500 meter dari titik awal tercium bau belerang yang amat menyengat. Hawa panas belerang cukup terasa. Tak ada sama sekali rerumputan hijau. Bau belerang semakin menyengat. Asap kian tebal. Kami dikepung sumber asap belerang. Di sekitar hanya ada sumber belerang. Beberapa kali aku ingin muntah, tak kuat menghirup aroma yang sangat tidak sedap.

Sesekali aku terpeleset karena bebatuan yang memenuhi ruas jalan. Kami sampai pada titik dimana bau belerang mulai berkurang. Setidaknya, aku sedikit merasakan udara segar ditengah bau yang sesak di rongga pernapasan. Kami beristirahat sejenak. Ada yang konyol waktu itu, kami sudah jauh melangkah, terlebih melewati area yang tebal dengan asap belerang. Ternyata, Pradi meninggalkan tiang tenda. Alhasil, Pradi harus turun kembali untuk mencarinya. Gilanya, bukan menyimpan tas yang ada di pundaknya, ia malah turun bersama beban yang pasti menyiksa ketika mendaki. Aneh, tapi sudahlah, terkadang orang sering melupakan kecil untuk menemukan hal yang lebih besar. Sembari menunggu Pradi kembali, aku mengambil dokumentasi, mengabadikan momen yang pasti jadi cerita. 

Pradi sudah kembali dengan tiang tenda. Kami lanjutkan perjalanan. Kali ini jalur sedikit menurun. Berbeda dengan sebelumnya, jalur yang kali ini dilalui hijau dengan rerumputan dan pepohonan. Bau belerang sudah tak terasa. Sungai yang kami lalui menjadi batas sebelum jalur menanjak kembali.

Kami mengambil rute yang lebih singkat. Ternyata jalur semakin terjal. Keringat bercucuran, aku harus menanggalkan jaket yang kukenakkan. Saat itu, Norman beberapa kali terpeleset. Pantas saja, karena Norman hanya mengenakkan sandal jepit sebagai alas kakinya, padahal ini bukan perjalanan biasa, kita membutuhkan perlengkapan yang mendukung perjalanan. Untungnya banyak ranting yang bisa dijadikan pegangan.

Setelah perjalanan yang cukup melelahkan, kami sampai di tempat perkemahan. Tak kusangka, tempat itu dipadati oleh para pendaki, jarak antar tenda juga sangat berdekatan. Kami mulai mencari tempat yang cocok untuk didirikan tenda. Semula, aku memutuskan untuk melepas detik terakhir 2012 karena ingin menyepi, jauh dari keramaian kota. Aku ingin melebur dengan dingin dan sunyinya suasana lembah. Tapi itu tak mungkin, mengingat pendaki yang begitu banyak. Sudah pasti akan ada pesta kembang api nanti malam, lalu apa bedanya dengan Dago atau tempat keramaian lainnya. Tempat yang cocok sudah kami temukan. Ladang edelweiss yang mengitari tenda akan menjadi kawan tidur nanti malam. Tenda mulai didirikan, pasak demi pasak kami tancapkan ke tanah.

Awan tiba-tiba gelap, udara dingin menyayat kulit. Padahal, saat itu baru sekitar pukul 14.00 WIB. Kabut tebal mulai menyapu ladang ilalang, pertanda akan turun hujan. Kami belum selesai mendirikan tenda. Rintik-rintik hujan mulai membelah sore. Kami bergegas mendirikan tenda. Namun, hujan semakin deras. Tetesan hujan menembus jaket yang aku kenakkan. Tak sadar, aku sampai lupa untuk memakai jas hujan. Kami semua sibuk mendirikan tenda. Maklum, tenda yang kami bawa berukuran besar, cukup untuk 15 orang.

Nyatanya, hujan terlampau deras. Semua sudah basah kuyup,  tenda pun belum berdiri. Aku seperti diselimuti es, dinginnya menerobos pori-pori lalu menusuk tulang. Seandainya kami tiba 20 atau 30 menit lebih awal, mungkin tenda sudah mejadi pengahalau air hujan. Tapi apa daya, kami berangkat terlalu siang. Saat kutanya rombongan lain, mereka sudah mulai mendaki sejak pukul 04.00. Pada saat itu, aku baru bangun, yang lainnya mungkin masih saja terlelap.

Tenda pun berdiri, namun air masih menggenang di dalam. Aku harus menyeka air yang memenuhi hampir setiap sudut tenda. Yang lainnya masih berupaya agar tenda berdiri sempurna, sebagian ada yang menggali parit. Hujan mulai surut, tenda sudah siap untuk ditempati. Satu per satu dari kami masuk kedalam tenda, udara pun mulai hangat. Kami mulai bebincang dan tertawa sembari melepas lelah. Suasana akrab mengalir ditengah kami. Tak terasa, perut ini meraung-raung menagih haknya. Mie rebus kami santap setelah kopi panas yang rasanya melumer nikmat di pangkal lidah. Lelah seolah memanjakan raga, kami berbaring sejenak ditemani gemercik hujan yang menggenang di sekeliling tenda.

Suasana nyaman tak berlangsung lama. Hujan besar berpadu angin kencang menerpa tenda, kencang dan semakin kencang. Saat itu aku masih berbaring, kurasakan dingin di punggung. Ternyata air sudah menggenangi seisi tenda. Rupanya, parit yang mengitari tenda tak cukup menampung derasnya air hujan. Sepertinya kami salah memilih tempat, segera kami tengok keadaan di luar tenda. Pantas saja air masuk kedalam, ternyata tempat kemah persis berada ditengah aliran air. Ketika kami keluar, air mencapai mata kaki, tak ayal jika air menggenangi tenda. Kami putuskan untuk pindah lokasi. Pradi dan Norman mencari tempat baru, aku dan yang lainnya bersiap di dalam tenda. Semua perlengkapan kemah yang sudah dikeluarkan harus kami kemas kembali, dan kondisinya serba basah. Alas tidur basah, makanan basah, pakaian apalagi, sleeping bad milik beberapa temanku juga tak luput digulung air.

Pradi dan Norman sepertinya sudah menemukan tempat baru, namun kami masih harus berunding tentang tempat itu. Aku segera mencari alternatif lain. Ada dua tempat yang kiranya cocok untuk dijadikan lokasi yang baru. Tempat yang aku dapatkan tidak jauh dari lokasi semula, sementara tempat yang ditemukan Pradi dan Norman berada cukup jauh. 

Di kejauhan, aku melihat kilat yang memecah langit senja. Beberapa rombongan pendaki juga sepertinya bernasib sama. Mereka sibuk hilir mudik memindahkan tenda. Aliran air yang membelah kaki semakin tinggi. Bodoh, betapa cerobohnya kami ketika memilih tempat yang serba beresiko itu. Pantas saja area kemah sepi, para pendaki yang lain pasti sudah memprediksi bakal begini jadinya, mereka jadi enggan berkemah di sini.

Sudah diputuskan, bahwa yang akan menjadi lokasi kemah yang baru adalah tempat yang ditemukan Pradi dan Norman. Segera kami membagi tugas, sebagian memindahkan barang, sebagian lagi mengemas tenda. Lawan yang menghadang kami kala itu adalah dingin. Jari jemari sepertinya mati rasa, ruas-ruas telapak kaki ini mengkerut, perut makin cepat lapar.

Malam lekas datang, gelap tengah bersiap mencekam lembah, saat itu waktu menunjukkan sekitar pukul 17.30.WIB. Medan kali ini cukup sulit, karena lahannya sempit dan terhalang oleh pohon. Pasak demi pasak kami tancapkan. Tali kami ikat pada batang pohon dan ranting. Waktu cukup lama bergulir, seharusnya kami sudah tidur dari tadi. Tubuh sudah tidak kuat menahan dingin yang membuat kaku persendian.

Tenda tegak kembali. Barang-barang kami masukkan ke dalam tenda. Senter kami nyalakkan berhubung malam sudah merajai, gelap. Kami baru selesai mendirikan tenda sekitar pukul 19.00 WIB. Kondisi dalam tenda lebih parah dari sebelumnya. Semua serba basah, bahkan alas tidur pun ikut basah. Aku bingung mesti tidur dimana nanti, tapi lempung terlanjur mengeras, nikmati saja malam yang aneh ini.

Oh ya, sebelum aku menuliskan ending situasi serba sulit ini, aku teringat pada rombongan keluarga yang kami jumpai ditengah perjalanan. Wanita paruh baya bersama keluarga besarnya, lengkap dengan dua putrinya yang masih kecil, mungkin belum tamat kelas 5 SD. Dua anak kecil ini terlihat amat lugu, badannya gempal, salah satu dari mereka mengenakkan baju warna pink. Kami beberapa kali berpapasan dengan mereka saat mendaki, pun saat istirahat di beberapa tempat. Seorang wanita dari rombongan ini sempat menawarkan aku makan. Aku terbayang betapa repotnya keluarga ini jika mengalami hal sama seperti yang kami alami. Aku yakin, saat kami mendirikan tenda yang pertama, rombongan keluarga ini masih dalam perjalanan. Mereka tertinggal jauh, karena saat kami lewat, keluarga ini sedang asyik bersantap ria. Apa jadinya ketika mereka diserang hujan saat dalam perjalan. Betapa sialnya keluarga ini, kami saja kewalahan. Tapi itu hanya terkaanku saja. Bisa saja mereka menemukan gua dengan lubang yang besar sehingga bisa berlindung disana. Tapi tak mungkin, maka lupakanlah.

Detik-detik menuju pergantian tahun semakin dekat. Kami baru saja meneguk susu jahe hangat yang dibawa Pradi. Bagian atas tubuh memang hangat, tapi lain hal dengan tubuh bagian bawah. Alas yang kami duduki masih basah karena diguyur hujan saat pindah dari lokasi yang pertama. Dari tadi kami sibuk mendirikan tenda, sementara perlengkapan pokok seperti ransel beserta isinya dibiarkan basah kuyup.

Hujan masih saja deras. Seharusnya, kami sudah duduk mengelilingi api unggung menjelang tahun baru 2013. Tapi kami malah terpenjara di dalam tenda. Tanpa pikir panjang, kami segera memutuskan untuk tidur tanpa makan malam terlebih dahulu. Persoalan lain datang, karena alas tidur kami basah, kami bingung mesti tidur dimana. Terlebih lagi jaket dan beberapa pakaianku juga basah. Jari-jari kakiku sungguh merasakan dingin yang teramat sangat, padahal aku sudah mengenakkan kaus kaki. Temanku yang lain juga merasakan hal yang sama, Sleeping bad yang mereka bawa tidak bisa digunakan karena basah, kami semua bernasib sama. Sekitar pukul 20.30 WIB kami semua mulai berbaring tanpa peduli semua yang terjadi. Kami paksakan untuk pulas, dan tidur pun berkalang air. Tahun baru 2013 hanya kami lewati dengan tidur panjang dan teramat dingin.

Ternyata, tahun baru 2013 harus kami sambut dengan tidur yang sangat tidak pulas. Aku bingung harus berkata apa untuk menggambarkan situasi yang dialami oleh Sembilan pemuda ini. Tapi yang pasti ini konyol. Pasangan muda mudi di kota mungkin sedang bercumbu dengan gemerlap kembang api, sementara kami meringkuk kedinginan. Tapi ini yang menarik, jika tidak mengalami hal demikian, cerita tentang tahun baru akan sama seperti tahun sebelumnya. Memang ramai, namun datar karena keramaian dan kesenangan di tahun baru itu biasa. Hal yang kami alami pasti akan jadi cerita yang amat seru setiap menyambut tahun baru yang akan datang. Pasti teringat, basah, dingin, susah, air yang jadi kalang, sampai melewati tahun baru 2013 dengan tidur panjang. Ini semua berkat kecerobohan kami, alhasil kami harus melewati kondisi yang sulit ini. Semoga di tahun baru 2013 kita lewati dengan segala kehati-hatian dan penuh pertimbangan agar menuai hasil yang indah. Selamat tahun baru 2013.

Salman Nahumarury 
Bogor, 5 Januari 2013

2 komentar:

  1. Bodoh, kamu dan teman-temanmu hanya berpamer saja. Itu hanya membuatku ingin mandi.

    BalasHapus
  2. Itu karena lu ga di ajak bego.haha

    BalasHapus