Senin, 24 Desember 2012

Tetap Menjadi Malam yang Tidak Penting



Ini tulisan ketiga yang menceritakan Aad, temanku yang mengklaim dirinya orang kaya. Entah apa yang membuatku tertarik untuk menulis tentang Aad. Mungkin karena ia kerap kali bertindak “diluar kemampuan” manusia lain untuk memikirkannya. Ia sering membicarakan hal-hal berbau molusca dan paramecium yang termasuk kedalam anggota filum dalam tahapan kingdom binatang seperti halnya crustaceae dan mamalia. Itu sulit terlontar dari manusia lain untuk berpikir sejauh itu. Aneh, karena yang lain sedang membicarakan proses terbentuknya Danau Purba Bandung, Aad malah membicarakan binatang. Itu diluar konteks dari hal yang kita bicarakan.

Tepatnya malam kamis, malam ke-29 di bulan Mei 2012, Aad berjanji untuk menemaniku meliput bala-bala gangster (sebuah julukan untuk bakwan berukuran besar dengan harga Rp500,) pada pukul 19.00 WIB. Tapi tepat pada jam tersebut Aad menghilang disela-sela malam. Kemanakah dia? Aku menunggunya, melebur bersama gundah. Janji yang harus ditunaikan pada jam 19.00 WIB tertunda sampai jam 21.30 WIB. Aad datang dengan senyum yang menyeringai dibalik sorot lampu lorong asrama dua saudara. Walau wajah dan tubuh gempalnya tak terlihat, tapi giginya sangat jelas dan bercahaya. Aku sudah bisa menyimpulkan, bahwa ialah Aad. Soalnya tidak Ada yang memiliki gigi sebesar biji kenari, selain dia.

Sory sob, Hp gua gak bisa di-charge,” tuturnya dengan sangat polos atau hendak mengalihkan situasi.  Ia seolah Balita yang tak sadar dosa,  menghilang ditengah penantian seseorang selama kurang lebih 2,5 jam, sukses untuk membuat kalut suasana hati. Bagi seorang wartawan, khusunya pemula, 2,5 jam adalah waktu yang sangat berharga bahkan melampaui waktu yang sedang kita gunakan untuk mendengarkan Ojan (Pemimpin Umum Suaka) membicarakan hal-hal berbau NU ataupun nusantara. Dari 2,5 jam, ternyata ia hanya mengasilkan kalimat “Sory sob, Hp gua gak bisa di-charge”.

Tapi tak apalah, dengan berusaha untuk meredam semua perasaanku padanya, aku bergegas menuju Ujungberung, tempat dimana penjual bala-bala gangster melukis malam dengan berdagang.

Sampailah di Ujungberung. Tapi aku tidak melihat penjual bala-bala itu. Mungkin malam masih terlalu pagi untuk menyambut penjual bala-bala bergelut dengan wajan dan spatula. Ya, karena biasanya mereka menuai remang dengan segala aktifitas pada sekitar pukul 23.00 WIB.

Mata ini berburu kepada orang yang kiranya bisa dimintai informasi tentang bala-bala gangster, tertujulah pada para tukang ojek. Percakapan terjadi antara aku dan tukang ojek berlogat jawa kala Aad sedang memarkirkan motornya. “kayanya malam ini gak jualan, udah dua hari gak jualan,” singkat tukang ojek tersebut, aku lupa menanyakan namanya. Ia menawarkan untuk mengantar kami ke rumah penjual bala-bala gangster tersebut. Tapi sudahlah, mungkin kita hanya mengganggu karena harus bertamu kala nikmat yang dirasa jangkrik dan rerumputan andai kata malam ini mereka tidak berjualan. Aku dan Aad memutuskan untuk mengisi tunggu dengan santap.

Seusai makan malam, kami kembali ke tempat penjual bala-bala. Ternyata mereka belum nampak. Mungkin benar apa yang dikatakan tukang ojek itu. Kita berputar-putar mengelilingi area Ujungberung. Akhirnya kita mewawancara seorang pemuda. Selesai, dan kami duduk berdua menatap langit berhiasakan gelap dan lalu lintas pasar. Terjadilah perbincangan hangat, mulai dari pertemuan pertama Aad dengan pacarnya yang sekarang. Ternyata 2,5 jam yang ia habiskan tadi bukan semata karena Hpnya yang tidak bisa di-charge, tapi pemicunya adalah komunikasi yang terputus antara Aad dengan Mala, nama seorang wanita bermata sipit dari garis keturunan Tionghoa. Dan Tuhan mengkaruniai Mala untuk Aad.

Yang menarik, bisa dibilang Mala jatuh cinta pada pandangan pertama terhadap lelaki yang gemar tidur dengan mulut menganga lebar kelangit. Satu kata, incredible. Entah mengapa. Mungkin karena Mala sedang bertaruh dengan temannya, seperti dalam film 7 Hari Mencari Cinta (seandainya Aad baca, gua Cuma bercanda, ok Sob). Tapi sampai tulisan ini kalian baca, nyatanya Aad masih berpacaran dengan Mala. Konflik yang sedang dialami Aad dan Mala menjadi awal perbincangan kami menuju banyak perbincangan lainnya. Mulai dari kisah cinta semasa putih biru, sampai hal yang berbau politik menjadi tema ditemani rokok dan suara mesin penggiling cabai. Tak terasa sudah sampai pukul 23.30 WIB. Kami memutuskan untuk melanjutkan cerita di sekre Suaka (nama Lembaga Pers Mahasiswa UIN SGD Bandung). Ternyata Penjual bala-bala gangster tidak berjualan malam itu.

Kami lanjutkan percakapan di asrama dua saudara. Gundah masih melanda Aad karena konflik cintanya. Klasik, karena Aad telat membalas SMS dari Mala, maka konflik berkepanjangan terjadi. Entahlah, padahal poinnya “Lu sayang sama gua, gua sayang sama lu, titik”. Aad pun mengamini pernyataan tersebut. Tapi entah, mungkin cinta harus menuai pasang-surut karena permasalahan klasik tersebut. Dalam kondisi apapun, aku tetap bersamamu sobat.

Perbincangan kami melibatkan Ojan sekarang. Hamdan (ketua Litbang Suaka) tidak terlibat, padahal ia hadir ditengah kita. Hamdan langsung terbuai pulas dengan posisi khasnya, yaitu tidur sambil sujud. Mengagumkan Hamdan, luar biasa. Bahkan tidur pun engkau buat kreatif.

Tapi keterlibatan Ojan tak berlangsung lama. Pemimpin Umum Suaka ini mencuri waktu dari seorang wanita yang ia ajak bicara lewat telefon. Cukup lama, dan aku melanjutkan perbincangan dengan Aad kembali. Hanya berdua.
Kali ini, perbincangan kami lazim. Lazim menurut aku adalah, ketika Aad dan aku membicarakan hal-hal yang sangat tidak nyambung. Sangat, dan sangat. Kita sering melakukannya, keseringan itu yang membuat lazim, seperti ilustrasi dibawah ini.

Ilustrasi:
Aku     : Ad, Siang-siang gua seneng makan caramel berlapis baja loh. Apalagi pake cemilan
yang terbuat dari gunting kuku.
Aad     : yang bener sob? Tapi ya, kalo gua sih suka melalap monitor sama batu bata. Dan itu membuat segelintir kucing masuk ke rumah tetangga gua yang cuma pake handuk doang.
Aku     : Bener juga ya, kadang-kadang malah cangkir yang tergeletak di jalan tol suka menghambat kinerja pemerintah untuk memungut pajak pembangunan pesantren.
Aad     : tapi gila juga ya, menara piza di Italia suka masuk kedalam mimpi gua, soalnya sebelum tidur gua suka ngebayangin baju basah yang langsung dipakai sama tentara perang dunia ke-II.
Aku     : Emang bener sih, senar gitar malah lebih sering gua konsumsi kalo abis ngerjain PR bahasa Indonesia, soalnya guru gua waktu itu suka keluar malem-malem lewat  jendela. Malah Cuma pake celana pendek yang dibeli waktu bulan purnama. dan lu tau ga? dia keluar malem-malem cuma buat parkir motor di halaman SMP Negeri 15 Khazakstan.
Aad     : Gak tau juga sih ya. Apalagi politik zaman sekarang suka melibatkan atlit karate yang telat bayar cicilan motor. Mungkin itu yang menjadi referensi jawaban UAS  mata kuliah analisis wacana.
Aku     : Semoga aja rel kereta gak jadi bahan pembuat kacang sangray, kalo sampe terjadi,  pita suara kita akan menjerit karena air galon udah abis, kita jadi gak bisa bernang di kolam ikan kerajaan Samudera Pasai deh.
Aku dan Aad  : Amin

Bayangkan oleh kalian! Begitu liarnya imajinasi kita. Hal itu hanya bisa dilakukan oleh orang yang mempunyai IQ diatas 127, 45.
Tak lama setelah perbincangan konyol tersebut. Aad menyusul jejak Hamdan. Berlabuh ke muara kapuk.

Ojan telah usai menelefon seorang wanita nun jauh di sana. Dan kami mulai bercakap. Seperti biasanya, Ojan tidak terlalu menggila saat malam. Hal-hal berbau serius menjadi atmosfer percakapan kami. Petuah-petuahnya aku rekam ke dalam memori otak. Bla, bla, bla, bla, dan bla. Saking banyaknya perkataan Ojan, kalaulah memang harus aku tulis, mungkin tulisan ini akan menjadi novel yang berjudul “Petuah dan Leluconnya”.

Sampailah pada sekitar pukul 03.00. Ojan mungkin sudah lelah bercakap. kini hanya aku yang memacu jari-jemari untuk menekan tombol-tombol yang ada di laptop Aad. Aku Sendiri dalam cakap setelah suara dari orang-orang dengan imajinasi mereka yang teruntai dalam kata.

Sunyi, kirannya pukul 04.00, Aad bangun. Serasa belum cukup perbincangan semalam, aku dan Aad melajutkan dengan alur yang lebih tertata. 07.00 menjadi waktu untuk menyudahi perbincangan kami. Sejak Aad terbangun sampai mulut berhenti berbusa, kami bercerita hal-hal seolah tak ada habisnya. Antara percakapan penting dan tidak penting.

Dan satu yang paling aku ingat adalah, ternyata Aad adalah playboy semasa SMA.Lalu aku mulai mengeja, M-E-N-A-K-J-U-B-K-A-N. 

Salman Nahumarury
Bandung, 1 Juni 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar