Ini tulisan ketiga yang
menceritakan Aad, temanku yang mengklaim dirinya orang kaya. Entah apa yang
membuatku tertarik untuk menulis tentang Aad. Mungkin karena ia kerap kali
bertindak “diluar kemampuan” manusia lain untuk memikirkannya. Ia sering
membicarakan hal-hal berbau molusca dan paramecium yang
termasuk kedalam anggota filum dalam tahapan kingdom binatang
seperti halnya crustaceae dan mamalia. Itu sulit terlontar
dari manusia lain untuk berpikir sejauh itu. Aneh, karena yang lain sedang
membicarakan proses terbentuknya Danau Purba Bandung, Aad malah membicarakan
binatang. Itu diluar konteks dari hal yang kita bicarakan.
Tepatnya malam kamis, malam
ke-29 di bulan Mei 2012, Aad berjanji untuk menemaniku meliput bala-bala
gangster (sebuah julukan untuk bakwan berukuran besar dengan harga Rp500,) pada
pukul 19.00 WIB. Tapi tepat pada jam tersebut Aad menghilang disela-sela malam.
Kemanakah dia? Aku menunggunya, melebur bersama gundah. Janji yang harus
ditunaikan pada jam 19.00 WIB tertunda sampai jam 21.30 WIB. Aad datang dengan
senyum yang menyeringai dibalik sorot lampu lorong asrama dua saudara. Walau
wajah dan tubuh gempalnya tak terlihat, tapi giginya sangat jelas dan
bercahaya. Aku sudah bisa menyimpulkan, bahwa ialah Aad. Soalnya tidak Ada yang
memiliki gigi sebesar biji kenari, selain dia.
“Sory sob, Hp
gua gak bisa di-charge,” tuturnya dengan sangat polos atau
hendak mengalihkan situasi. Ia seolah
Balita yang tak sadar dosa, menghilang
ditengah penantian seseorang selama kurang lebih 2,5 jam, sukses untuk membuat
kalut suasana hati. Bagi seorang wartawan, khusunya pemula, 2,5 jam adalah
waktu yang sangat berharga bahkan melampaui waktu yang sedang kita gunakan
untuk mendengarkan Ojan (Pemimpin Umum Suaka) membicarakan hal-hal berbau NU
ataupun nusantara. Dari 2,5 jam, ternyata ia hanya mengasilkan kalimat “Sory
sob, Hp gua gak bisa di-charge”.
Tapi tak apalah, dengan
berusaha untuk meredam semua perasaanku padanya, aku bergegas menuju
Ujungberung, tempat dimana penjual bala-bala gangster melukis malam dengan
berdagang.
Sampailah di Ujungberung. Tapi
aku tidak melihat penjual bala-bala itu. Mungkin malam masih terlalu pagi untuk
menyambut penjual bala-bala bergelut dengan wajan dan spatula. Ya, karena
biasanya mereka menuai remang dengan segala aktifitas pada sekitar pukul 23.00
WIB.
Mata ini berburu kepada orang
yang kiranya bisa dimintai informasi tentang bala-bala gangster, tertujulah
pada para tukang ojek. Percakapan terjadi antara aku dan tukang ojek berlogat
jawa kala Aad sedang memarkirkan motornya. “kayanya malam ini gak
jualan, udah dua hari gak jualan,” singkat tukang ojek
tersebut, aku lupa menanyakan namanya. Ia menawarkan untuk mengantar kami ke
rumah penjual bala-bala gangster tersebut. Tapi sudahlah, mungkin kita hanya
mengganggu karena harus bertamu kala nikmat yang dirasa jangkrik dan rerumputan
andai kata malam ini mereka tidak berjualan. Aku dan Aad memutuskan untuk
mengisi tunggu dengan santap.
Seusai makan malam, kami
kembali ke tempat penjual bala-bala. Ternyata mereka belum nampak. Mungkin
benar apa yang dikatakan tukang ojek itu. Kita berputar-putar mengelilingi area
Ujungberung. Akhirnya kita mewawancara seorang pemuda. Selesai, dan kami duduk
berdua menatap langit berhiasakan gelap dan lalu lintas pasar. Terjadilah
perbincangan hangat, mulai dari pertemuan pertama Aad dengan pacarnya yang
sekarang. Ternyata 2,5 jam yang ia habiskan tadi bukan semata karena Hpnya yang
tidak bisa di-charge, tapi pemicunya adalah komunikasi yang terputus
antara Aad dengan Mala, nama seorang wanita bermata sipit dari garis keturunan
Tionghoa. Dan Tuhan mengkaruniai Mala untuk Aad.
Yang menarik, bisa dibilang
Mala jatuh cinta pada pandangan pertama terhadap lelaki yang gemar tidur dengan
mulut menganga lebar kelangit. Satu kata, incredible. Entah mengapa.
Mungkin karena Mala sedang bertaruh dengan temannya, seperti dalam film 7 Hari
Mencari Cinta (seandainya Aad baca, gua Cuma bercanda, ok
Sob). Tapi sampai tulisan ini kalian baca, nyatanya Aad masih berpacaran dengan
Mala. Konflik yang sedang dialami Aad dan Mala menjadi awal perbincangan kami
menuju banyak perbincangan lainnya. Mulai dari kisah cinta semasa putih biru,
sampai hal yang berbau politik menjadi tema ditemani rokok dan suara mesin
penggiling cabai. Tak terasa sudah sampai pukul 23.30 WIB. Kami memutuskan
untuk melanjutkan cerita di sekre Suaka (nama Lembaga Pers Mahasiswa UIN SGD
Bandung). Ternyata Penjual bala-bala gangster tidak berjualan malam itu.
Kami lanjutkan percakapan di
asrama dua saudara. Gundah masih melanda Aad karena konflik cintanya. Klasik,
karena Aad telat membalas SMS dari Mala, maka konflik berkepanjangan terjadi.
Entahlah, padahal poinnya “Lu sayang sama gua, gua sayang
sama lu, titik”. Aad pun mengamini pernyataan tersebut. Tapi entah,
mungkin cinta harus menuai pasang-surut karena permasalahan klasik tersebut.
Dalam kondisi apapun, aku tetap bersamamu sobat.
Perbincangan kami melibatkan
Ojan sekarang. Hamdan (ketua Litbang Suaka) tidak terlibat, padahal ia hadir
ditengah kita. Hamdan langsung terbuai pulas dengan posisi khasnya, yaitu tidur
sambil sujud. Mengagumkan Hamdan, luar biasa. Bahkan tidur pun engkau buat
kreatif.
Tapi keterlibatan Ojan tak
berlangsung lama. Pemimpin Umum Suaka ini mencuri waktu dari seorang wanita
yang ia ajak bicara lewat telefon. Cukup lama, dan aku melanjutkan perbincangan
dengan Aad kembali. Hanya berdua.
Kali ini, perbincangan kami
lazim. Lazim menurut aku adalah, ketika Aad dan aku membicarakan hal-hal yang
sangat tidak nyambung. Sangat, dan sangat. Kita sering melakukannya, keseringan
itu yang membuat lazim, seperti ilustrasi dibawah ini.
Ilustrasi:
Aku :
Ad, Siang-siang gua seneng makan caramel berlapis
baja loh. Apalagi pake cemilan
yang terbuat dari gunting kuku.
Aad :
yang bener sob? Tapi ya, kalo gua sih suka melalap
monitor sama batu bata. Dan itu membuat segelintir kucing masuk ke rumah
tetangga gua yang cuma pake handuk doang.
Aku
: Bener juga ya, kadang-kadang malah cangkir yang tergeletak di jalan
tol suka menghambat kinerja pemerintah untuk memungut pajak pembangunan
pesantren.
Aad
: tapi gila juga ya, menara piza di Italia suka masuk kedalam mimpi gua,
soalnya sebelum tidur gua suka ngebayangin baju basah yang
langsung dipakai sama tentara perang dunia ke-II.
Aku
: Emang bener sih, senar gitar malah lebih sering gua
konsumsi kalo abis ngerjain PR bahasa Indonesia, soalnya guru gua
waktu itu suka keluar malem-malem lewat jendela. Malah Cuma pake
celana pendek yang dibeli waktu bulan purnama. dan lu tau ga? dia
keluar malem-malem cuma buat parkir motor di halaman SMP Negeri 15
Khazakstan.
Aad
: Gak tau juga sih ya. Apalagi politik zaman
sekarang suka melibatkan atlit karate yang telat bayar cicilan motor. Mungkin
itu yang menjadi referensi jawaban UAS mata kuliah analisis wacana.
Aku
: Semoga aja rel kereta gak jadi bahan pembuat kacang
sangray, kalo sampe terjadi, pita suara kita akan
menjerit karena air galon udah abis, kita jadi gak bisa
bernang di kolam ikan kerajaan Samudera Pasai deh.
Aku dan Aad :
Amin
Bayangkan oleh kalian! Begitu
liarnya imajinasi kita. Hal itu hanya bisa dilakukan oleh orang yang mempunyai
IQ diatas 127, 45.
Tak lama setelah perbincangan
konyol tersebut. Aad menyusul jejak Hamdan. Berlabuh ke muara kapuk.
Ojan telah usai menelefon
seorang wanita nun jauh di sana. Dan kami mulai bercakap. Seperti biasanya,
Ojan tidak terlalu menggila saat malam. Hal-hal berbau serius menjadi atmosfer
percakapan kami. Petuah-petuahnya aku rekam ke dalam memori otak. Bla,
bla, bla, bla, dan bla. Saking banyaknya perkataan
Ojan, kalaulah memang harus aku tulis, mungkin tulisan ini akan menjadi novel
yang berjudul “Petuah dan Leluconnya”.
Sampailah pada sekitar pukul
03.00. Ojan mungkin sudah lelah bercakap. kini hanya aku yang memacu
jari-jemari untuk menekan tombol-tombol yang ada di laptop Aad. Aku Sendiri
dalam cakap setelah suara dari orang-orang dengan imajinasi mereka yang
teruntai dalam kata.
Sunyi, kirannya pukul 04.00,
Aad bangun. Serasa belum cukup perbincangan semalam, aku dan Aad melajutkan dengan
alur yang lebih tertata. 07.00 menjadi waktu untuk menyudahi perbincangan kami.
Sejak Aad terbangun sampai mulut berhenti berbusa, kami bercerita hal-hal
seolah tak ada habisnya. Antara percakapan penting dan tidak penting.
Salman Nahumarury
Bandung, 1 Juni 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar