Kamis, 31 Juli 2014

Tukang Korek, Isyarat, dan Kebisuan


Bukan untuk mengina, pak tua. Aku cuma tak bakat gambar.
Sudah pasti, remaja, nona-nona, dan manusia lainnya menikmati libur lebaran mereka. Walhasil, jalanan amat macet. Motor yang kupacu hanya beranjak beberapa inci saja dalam lima atau sepuluh detik. Bagaimana lagi, demi menyambangi sahabatku, Linggar namanya, jalanan yang sesak dan terik santai saja kulalui. Tapi bukan tentang Linggar dan kemacetan dalam karangan 5.600 karakter yang kutulis ini.

Sepulang dari rumah Linggar, jalanan masih saja macet. Meski macet, ada kebutuhan yang hendak kupenuhi. Aku ada perlu dengan tukang korek gas. Lalu untuk apa? Seni adalah jalan menuju kesempurnaan. Kepemimpinan akan lebih sempurna jika dibalut seni. Syair yang diiringi seni musik akan menyentuh pribadi manusia paling dalam, bahkan ada yang bunuh diri gara-gara lagu yang dibuat Ozzy Osbourne vokalis Black Sabbath. Imajinasi seseorang tentang sawah akan syarat makna dengan sentuhan seni rupa. Dan korek gas akan dipandang tak jemu jika dirangkai dengan sentuhan seni. Aku punya sebatang korek gas yang cantik dan berbeda dengan korek gas kebanyakan. Warnanya emas dan bentuknya mirip batangan cokelat, juga disertai manik-manik biru serupa mata di bagian pemantiknya. Kucari tukang korek itu untuk membeli tabung gas, akan kugunakan untuk mengisi ulang korek jika gasnya habis.
Ku hampiri saja tukang gas itu. Songko menutupi kepala pedagang yang agaknya sudah beruban, pandangannya berlapis kacamata tua, dan tangannya sibuk memperbaiki sebuah korek gas biasa.
“Pak, ada isi korek gas?” tanyaku sambil menunjuk tabung gas untuk mempertegas.
Pak tua itu menengadah ke arahku. Sorot matanya diiringi sunyi mulutnya, tak ada kata yang terucap. Pak tua membuka lemari dagangannya, ia terlihat seperti mengerti yang kumaksud, aku biarkan saja dia. Jalanan makin padat, matahari tengah berada di puncak singgasananya. Sungguh panas siang itu. Aku sempat membayangkan beberapa tabung gas yang dipajang di etalase pak tua akan meledak. Bersamaan dengan itu, langsung kumatikan rokok yang tengah menyala karena takut membuat tabung gas itu meledak. Setelah kupikir-pikir, tindakan mematikan rokok itu adalah dampak imajinasiku yang kecil kemungkinannya. Meledak karena matahari? Hah, Konyol memang, tapi sudahlah.
Pak tua itu memberikan sekotak dus isi tabung gas. Sementara aku mencoba tabung gas itu, pembeli dan pedagang jam tangan di sebelah tengah asyik tawar-menawar harga.
“Berapa nih bang?,” tanya si pembeli sambil mengambil jam tangan ber-merk.
“Saya kasih 375 deh,” jawab si penjual.
“Asli ga nih? kurangin yah bang,” tawar si pembeli.
“Asli lah, kelihatan dari balik jamnya kalau yang asli mah, 350 aja yah. Ga bisa kurang lagi nih?” timpal si penjual mengakhiri tawar-menawar.
Yaudah bungkus,” balas si pembeli setuju. Si penjual mengambil kantong plastik, memasukan jam tangan itu, dan si pembeli bisa bergaya dengan jam tangan barunya. Si pembeli jam tangan berlalu, tubuhnya makin tirus di pelupuk mata. Ia lalu menghilang bersama sepeda motor yang ditungganginya, tanpa beban dan tanya.
***
Cukup rasanya mencoba tabung gas itu. Sudah kupastikan tabung gas itu terisi penuh dan pantas aku beli.
“Berapa pak?” tanyaku.
Pak tua masih saja tak mau bicara.
“Ini berapa pak?” tanyaku lagi makin tinggi.
Ia membuatku cukup kesal, sampai kusentuh tangan pak tua itu. Akhirnya dia mulai merespon, tapi bukan dengan kata, melainkan dengan jari tengah dan telunjuk sebagai isyarat, mirip salam damai punggawa Slank. Teramat sebal rasanya terhadap sikap pak tua itu. Ia seolah menganggap pembeli bukan utusan Tuhan sebagai pembawa rezeki.
“Begitu dong pak, ko diam saja. Ini dua puluh ribu,” ucapku kemudian membawa tabung gas. Penjual korek itu kutinggalkan, rasa kesal masih saja meraung-raung di hatiku.
***
Mungkin saja, banyak manusia yang terjebak ke dalam simbol, padahal maknanya jauh lebih dalam. Simbol yang kecil tak bisa kita pahami kedalaman maknanya. Alarm yang kita atur sendiri justru sering membuat kesal di pagi hari karena berdering tiada henti. Barangkali ada yang langsung mematikan alarm itu. Mungkin juga ada yang melempar, membanting, bahkan menenggelamkan sebuah jam weker ke dalam gelas yang berisi air di sebelah tempat tidur. Benda mati itu telah “jujur” menunaikan amanah pemiliknya, berdering tepat pada waktu yang diinginkan sang tuan. Tapi kita tetap saja kesal, dan lanjut tertidur pulas.
Pedagang korek tua itu memang bukan alarm ataupun alat pengingat. Aku teringat hal yang dilakukan penjual jam. Nyatanya, ia mengganti jam tangan yang asli dengan imitasi pada saat mengambil kantong plastik. Tapi, mana mungkin siapapun dari kita memperhatikan seorang padagang mengambil kantong plastik. Si pembeli akhirnya membawa barang berbungkus kenyataan yang berisi kepalsuan.
Lalu kemudian otak dan hatiku berhenti untuk berfikir dan merasa.
“Bang, dipanggil bapak itu,” lontar seseorang padaku.
Orang tua itu ternyata memanggilku lagi. Ya, pak tua yang membuat aku kesal. Dia pun bertingkah aneh lagi. Ya Tuhan, apalagi yang pak tua ini lakukan? Tapi tunggu dulu, kejadian beberapa detik itu mengungkap arti, makna, dan hakikat seorang pedagang yang memfungsikan hatinya. Ia menggerak-gerakan tangannya hampir tak beraturan sampai beberapa saat aku mulai mengerti. Bahwa isyaratnya adalah “Nak, harganya bukan dua puluh ribu, tapi dua belas ribu, ini kembaliannya”.
Aku hambar………..
Ia tunawicara, dan aku baru tahu belakangan setelah akal dan hati begitu lamanya untuk peka.
Pedagang jam tangan memang unggul, ia amat cakap bertindak dan berbicara sampai-sampai menipu pembeli, pak tua jelas tak mampu demikian. Pedagang korek itu tak mampu berkomunikasi dengan baik dengan pembeli, malah membuat kesal. Tapi, pak tua adalah sang juara ketika kejujuran terungkap dari balik kebisuannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar