Bukan untuk mengina, pak tua. Aku cuma tak bakat gambar. |
Sudah
pasti, remaja, nona-nona, dan manusia lainnya menikmati libur lebaran mereka.
Walhasil, jalanan amat macet. Motor yang kupacu hanya beranjak beberapa inci
saja dalam lima atau sepuluh detik. Bagaimana lagi, demi menyambangi sahabatku,
Linggar namanya, jalanan yang sesak dan terik santai saja kulalui. Tapi bukan
tentang Linggar dan kemacetan dalam karangan 5.600 karakter yang kutulis ini.
Sepulang
dari rumah Linggar, jalanan masih saja macet. Meski macet, ada kebutuhan yang
hendak kupenuhi. Aku ada perlu dengan tukang korek gas. Lalu untuk apa? Seni
adalah jalan menuju kesempurnaan. Kepemimpinan akan lebih sempurna jika dibalut
seni. Syair yang diiringi seni musik akan menyentuh pribadi manusia paling
dalam, bahkan ada yang bunuh diri gara-gara lagu yang dibuat Ozzy Osbourne
vokalis Black Sabbath. Imajinasi seseorang tentang sawah akan syarat makna
dengan sentuhan seni rupa. Dan korek gas akan dipandang tak jemu jika dirangkai
dengan sentuhan seni. Aku punya sebatang korek gas yang cantik dan berbeda
dengan korek gas kebanyakan. Warnanya emas dan bentuknya mirip batangan cokelat,
juga disertai manik-manik biru serupa mata di bagian pemantiknya. Kucari tukang
korek itu untuk membeli tabung gas, akan kugunakan untuk mengisi ulang korek jika
gasnya habis.
Ku
hampiri saja tukang gas itu. Songko menutupi kepala pedagang yang agaknya sudah
beruban, pandangannya berlapis kacamata tua, dan tangannya sibuk memperbaiki
sebuah korek gas biasa.
“Pak,
ada isi korek gas?” tanyaku sambil menunjuk tabung gas untuk mempertegas.
Pak
tua itu menengadah ke arahku. Sorot matanya diiringi sunyi mulutnya, tak ada
kata yang terucap. Pak tua membuka lemari dagangannya, ia terlihat seperti
mengerti yang kumaksud, aku biarkan saja dia. Jalanan makin padat, matahari
tengah berada di puncak singgasananya. Sungguh panas siang itu. Aku sempat
membayangkan beberapa tabung gas yang dipajang di etalase pak tua akan meledak.
Bersamaan dengan itu, langsung kumatikan rokok yang tengah menyala karena takut
membuat tabung gas itu meledak. Setelah kupikir-pikir, tindakan mematikan rokok
itu adalah dampak imajinasiku yang kecil kemungkinannya. Meledak karena
matahari? Hah, Konyol memang, tapi
sudahlah.
Pak
tua itu memberikan sekotak dus isi tabung gas. Sementara aku mencoba tabung gas
itu, pembeli dan pedagang jam tangan di sebelah tengah asyik tawar-menawar
harga.
“Berapa
nih bang?,” tanya si pembeli sambil
mengambil jam tangan ber-merk.
“Saya
kasih 375 deh,” jawab si penjual.
“Asli
ga nih? kurangin yah bang,” tawar si pembeli.
“Asli
lah, kelihatan dari balik jamnya
kalau yang asli mah, 350 aja yah. Ga bisa kurang lagi nih?”
timpal si penjual mengakhiri tawar-menawar.
“Yaudah bungkus,” balas si pembeli setuju.
Si penjual mengambil kantong plastik, memasukan jam tangan itu, dan si pembeli
bisa bergaya dengan jam tangan barunya. Si pembeli jam tangan berlalu, tubuhnya
makin tirus di pelupuk mata. Ia lalu menghilang bersama sepeda motor yang
ditungganginya, tanpa beban dan tanya.
***
Cukup
rasanya mencoba tabung gas itu. Sudah kupastikan tabung gas itu terisi penuh
dan pantas aku beli.
“Berapa
pak?” tanyaku.
Pak
tua masih saja tak mau bicara.
“Ini
berapa pak?” tanyaku lagi makin tinggi.
Ia
membuatku cukup kesal, sampai kusentuh tangan pak tua itu. Akhirnya dia mulai
merespon, tapi bukan dengan kata, melainkan dengan jari tengah dan telunjuk
sebagai isyarat, mirip salam damai punggawa Slank. Teramat sebal rasanya
terhadap sikap pak tua itu. Ia seolah menganggap pembeli bukan utusan Tuhan
sebagai pembawa rezeki.
“Begitu
dong pak, ko diam saja. Ini dua puluh ribu,” ucapku kemudian membawa tabung
gas. Penjual korek itu kutinggalkan, rasa kesal masih saja meraung-raung di
hatiku.
***
Mungkin
saja, banyak manusia yang terjebak ke dalam simbol, padahal maknanya jauh lebih
dalam. Simbol yang kecil tak bisa kita pahami kedalaman maknanya. Alarm yang
kita atur sendiri justru sering membuat kesal di pagi hari karena berdering
tiada henti. Barangkali ada yang langsung mematikan alarm itu. Mungkin juga ada
yang melempar, membanting, bahkan menenggelamkan sebuah jam weker ke dalam
gelas yang berisi air di sebelah tempat tidur. Benda mati itu telah “jujur” menunaikan
amanah pemiliknya, berdering tepat pada waktu yang diinginkan sang tuan. Tapi
kita tetap saja kesal, dan lanjut tertidur pulas.
Pedagang
korek tua itu memang bukan alarm ataupun alat pengingat. Aku teringat hal yang
dilakukan penjual jam. Nyatanya, ia mengganti jam tangan yang asli dengan
imitasi pada saat mengambil kantong plastik. Tapi, mana mungkin siapapun dari
kita memperhatikan seorang padagang mengambil kantong plastik. Si pembeli
akhirnya membawa barang berbungkus kenyataan yang berisi kepalsuan.
Lalu
kemudian otak dan hatiku berhenti untuk berfikir dan merasa.
“Bang,
dipanggil bapak itu,” lontar seseorang padaku.
Orang
tua itu ternyata memanggilku lagi. Ya, pak tua yang membuat aku kesal. Dia pun
bertingkah aneh lagi. Ya Tuhan, apalagi yang pak tua ini lakukan? Tapi tunggu
dulu, kejadian beberapa detik itu mengungkap arti, makna, dan hakikat seorang
pedagang yang memfungsikan hatinya. Ia menggerak-gerakan tangannya hampir tak
beraturan sampai beberapa saat aku mulai mengerti. Bahwa isyaratnya adalah “Nak,
harganya bukan dua puluh ribu, tapi dua belas ribu, ini kembaliannya”.
Aku
hambar………..
Ia
tunawicara, dan aku baru tahu belakangan setelah akal dan hati begitu lamanya untuk
peka.
Pedagang
jam tangan memang unggul, ia amat cakap bertindak dan berbicara sampai-sampai
menipu pembeli, pak tua jelas tak mampu demikian. Pedagang korek itu tak mampu
berkomunikasi dengan baik dengan pembeli, malah membuat kesal. Tapi, pak tua
adalah sang juara ketika kejujuran terungkap dari balik kebisuannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar