Sinopsis
Film ini bermula dari kasus spionase, pencurian, dan penyadapan di
salah satu markas milik Partai Nasional Demokrat, Watergate. Kemudian dua orang
jurnalis The Washington Post mencoba untuk menguak kasus yang mereka anggap
penuh konspirasi. Dua jurnalis tersebut yakni Bob Woodwart dan Carl Bernstein.
Kejanggalan kasus Watergate berawal dari persidangan lima
orang terdakwa. Woodwart, yang kala itu hadir dalam persidangan mendengar bahwa
salah satu terdakwa yang bernama James Mc. Cord adalah pensiunan konsultan keamanan
CIA.
Kasus kian ditelusuri. Data yang dikumpulkan Woodwart
menunjukan ada keterlibatan pemerintahan Richard Nixon, termasuk Penasehat Khusus Presiden dan beberapa pejabat penting lainnya. Setelah data dihimpun, ada
dinamika dalam ruang redaksi nyatanya. Woodwart barulah Sembilan bulan menjadi
jurnalis di surat kabar kenamaan Amerika tersebut. Hal itu membuat petinggi The
Washington Post tak main gampang memberikan tugas itu kepada Woodwart.
Pengalamannya masih dianggap dangkal. Setelah beberapa pimpinan bersitegang,
barulah Woodwart diamanahkan untuk menelusuri kasus tersebut. Tak tak cukup
satu, redaktur Washington Post juga menunjuk Carl Bernstein dalam peliputan
skandal Watergate.
Lalu, apa hubungannya kasus Watergate dengan pemerintahan
Richard Nixon yang merupakan presiden Amerika kala itu? Woodwart mensinyalir, adanya campur tangan
Gedung Putih dalam menyiasati pencurian dan juga penyadapan di markas Partai
Nasional Demokrat. Lantas saja petinggi gedung putih tersandung kasus. Selidik
punya selidik, orang-orang Nixon mencoba menyabotase kampanye politik
pesaingnya dari Partai Nasional Demokrat. Saat itu adalah tahun politik
Amerika, Nixon kembali menjadi kandidat calon presiden dan akhirnya menang.
Orang-orang diwawancara, data tertulis pun kian dihimpun,
saatnya Woodwart dan Bernstein menunjukkan hasil liputannya. Mereka berdua amat
yakin dengan hasilnya, juga menduga berita ini akan sangat eksklusif. Bahkan
mereka kira, surat kabar nomer wahid Amerika yakni The New York Times tak
memiliki informasi khusus terkait skadal Watergate. Namun, apalah yang mereka
terima? Pimpinan Washington Post mengira tak ada yang istimewa dalam hasil
peliputan. Data-data yang dihimpun rupanya masih dangkal. Isinya kering dan
hanya menyangkut kulit luar dari kasus itu. Berita tentang Watergate belum jadi
diterbitkan. Woodwart kecewa, pun dengan Bernstein. Walhasil, mereka mesti
putar otak lebih keras.
Tidak jadi terbit, Woodwart dan Bernstein tak hentikan
langkah. Tibalah saatnya Woodwart memanfaatkan jaringan yang ia miliki. Tentu
untuk mengorek banyak informasi. Ia menghubungi kenalannya di Gedung Putih. Pertemuan
rahasia dengan orang dalam pemerintahan ia agendakan. Orang ini akan jadi
informan dalam kasus yang Woodwart dan Berstein telusuri.
Tibalah saat pertemuan rahasia, orang misterius itu
dinamai Deep Throat. Woodwart menginginkan Deep Throat mengungkap semua yang
diketahuinya tentang skandal Watergate. Namun Deep Throat tidak secara gamblang
membeberkan semua hal, hanya kata kuncinya saja. Woodwart nampak bingung. Mesti
darimana ia memulai? Akhirnya Deep Throat ingin agar Woodwart dan Berstein
menelusuri uang berjumlah $25.000 yang ada di rekening salah satu tersangka
pencurian. Kenapa harus uang itu? Karena dana tersebut mengalir dari Komite
Pemenangan Kembali Presiden Richard Nixon ke rekening pelaku pencurian
Watergate.
Pemberitaan tentang skandal Watergate tersiarkan. Gedung
Putih gempar. Aksi dari dua wartawan ini menyeret beberapa nama penting di
pemerintahan. Mulailah terkuak konspirasi pejabat tinggi Gedung Putih dalam
kasus Watergate. Dalam proses peliputan, Woodwart dan Bernstein jadi sosok
berbahaya. Hal demikian membuat agen khusus negara tak tinggal diam. Mereka
berdua kerap dibuntuti mata-mata, gerak-gerik mereka diawasi. Bahkan,
komunikasi yang dilakukan dua wartawan ini bisa jadi disadap. Deep Throat lah
yang memberitahukan hal itu kepada Woodwart dan Berstein.
Usaha dua wartawan ini bukan tidak menghadapi batu
sandungan. Banyak orang yang enggan mengungkap kebenaran saat diwawancara. Agen
khusus negara mencoba menekan beberapa orang yang terlibat supaya mengunci
rapat mulutnya. Woodwart dan Berstein mesti susah payah mencari narasumber yang
sukarela menjadi kunci terkuaknya kasus. Belum lagi, akibat pemberitaan
tersebut, pemerintah mengecam paktek jurnalisme yang dilakukan Washington Post.
Menteri Penerangan Amerika saat itu, Ronal Ziegler, menganggap Washington Post
telah menerbitkan pemberitaan yang keji terkait Watergate.
Woodwart dan Berstein tetap di garda depan, mereka masih
di jalurnya meski tekanan politik menghujam Washington Post. Berita demi berita
makin menyulitkan beberapa pejabat Gedung Putih untuk menutupi skandal
Watergate. Nama-nama yang Woodwart dan Berstein ungkap dalam tulisan mereka
perlahan mulai terseret ke meja hijau.
Akhirnya, dalam gelar perkara pengadilan, nama-nama yang
diungkap Woodwart dan Bernstein dalam skandal kasus Watergate dinyatakan
bersalah. Dalam salah satu bukti, Richard Nixon terlibat. Ia nyatanya
menyetujui kegiatan spionase dalam kasus Watergate. Pemerintahan Nixon ambruk,
kekuatannya melemah. Pada 9 Agustus 1974, Richard Nixon menyatakan mengundurkan
diri sebagai presiden negara yang bergelar Adidaya.
Analisis
Jika kamu mengharapkan adegan percintaan, jangan harap kamu
akan menjumpainya. Juga tidak seperti film sejenis lainnya, Bang-Bang Club, 5
Days of War, atau Blood Diamond yang amat menegangkan dengan adegan-adegan
perang dalam proses peliputan seorang wartawan. Film ini tidak begitu
menghanyutkan penonton ke dalam konflik yang dibangun. Minim sisi hiburan,
namun syarat dengan nilai-nilai jurnalisme.
Woodwart
dan Berstein menampilkan aksi kewartawanan pada level tertinggi, yakni
investigasi. Ada sisi lain yang ditampilkan dua sosok ini dalam menelusuri
skandal Watergate, bukan hanya sebagai wartawan namun juga detektif. Dalam film
ini, saya amat terkesan oleh semua praktek jurnalistik yang dilakoni dua
wartawan tersebut.
- Wawancara
Ada beberapa bagian yang menampilkan kepiawaian dua wartawan ini dalam mengorek informasi
dari narasumber. Pada awal film, Berstein tak hanya menjadi sosok wartawan,
tapi menjelma menjadi seorang perayu wanita. Kata-kata pujian seperti “cantik”
terlontar dari mulut Berstein kepada wanita yang hendak ia wawancara. Sehingga,
suasana yang dibangun antara narasumber dan wartawan teramat cair. Narasumber pun
senantiasa memberikan informasi tanpa kesan menutupi.
Proses
wawancara pada tingkat yang lebih sulit pun menghadang dua wartawan ini. Dalam
salah satu scene, Woodwart dimintai
Deep Throat untuk menelusuri uang sejumlah $25.000 yang mengalir dari Komite
Pemenangan Kembali Presiden Richard Nixon ke salah satu pelaku skandal
Watergate. Lalu, penelusuran pun dimulai. Woodwart dan Berstein mengalami masa
yang amat melelahkan. Mereka mewawancara puluhan orang yang bekerja di bagian
keuangan pemerintahan untuk mengetahui aliran dana sebesar $25.000 tersebut. Mereka
melakukannya Door to door. Putus asa
hampir menghinggapi perasaan dua orang ini, tapi wawancara demi wawancara terus
mereka lakukan. Akhirnya, mereka menemukan orang yang bersedia mengungkap untuk
apa aliran dana tersebut. Ternyata dana itu digunakan untuk kegiatan spionase
dalam kasus Watergate. Bayangkan, untuk mengetahui sebuah aliran dana saja,
mereka berdua mesti mewancara puluhan orang bahkan sampai larut malam.
- Pengumpulan Data
Pada
sebuah pemberitaan, hasil akan lebih akurat jika data tertulis didapatkan.
Namun, data tersebut lebih sulit didapat ketimbang wawancara. Saya teringat
kisah peliputan Karni Ilyas dalam buku “40 Tahun Jadi Wartawan”. Dalam sebuah
liputan perkara di pengadilan, wartawan dengan suara khas mirip Doraemon itu
belum puas jika hanya wawancara, sampai-sampai surat tuduhan jaksa dan Berita
Acara Perkara (BAP) mesti pula ia dapatkan. Hal itu dilakukan untuk kelengkapan
dan keakuratan isi berita.
Bagaimana
dengan Woodwart dan Berstein? Segera setelah
wawancara tidak menuai hasil, Woodwart dan Berstein mencari data
tertulis. Sangat unik dan profesional, tidak hanya orang yang terlibat, bahkan
hubungan antara narasumber primer dan sekunder juga dicari datanya. Semisal
riwayat kampanye politik, daftar peminjaman buku perpustakaan, ratusan daftar
pegawai yang bekerja di bagian keuangan negara, data transfer uang dari bank, sampai
riwayat panggilan telefon tak luput dari selidik dua wartawan ini. Walhasil,
berita yang disajikan tidak kering, namun padat informasi dan kaya akan data.
Ada lagi
hal istimewa yang dilakukan salah seorang wartawan Washington Post ini. Jangan
kira dengan bersikap jujur dan polos akan gampang-gampang saja mendapat data
tertulis, terlebih jika data itu disimpan oleh pejabat tinggi pemerintah. Dalam
salah satu bagian film, Bernstein dibuat gusar karena tak kunjung dipertemukan
dengan seseorang yang memegang bukti transfer uang $25.000 itu, padahal ia
telah membuat janji pertemuan. Ia dibiarkan menunggu di Lobi Kantor oleh receptionist, Bernstein ditelantarkan
selama kurang lebih enam jam. Dengan kecerdikan dan keberanian Berstein, ia
berhasil mengelabuhi resepsionis dengan cara berbohong. Akhirnya Bernstein
dapat bertemu dengan orang yang memegang bukti transfer tersebut.
Hal
demikian sah-sah saja. Dalam buku “9 Elemen Jurnalisme” karangan Andreas
Harsono, hal tersebut boleh jadi dilakukan. Untuk memperoleh data atau bukti
primer sebuah kasus, seorang wartawan sah-sah saja berbohong bahkan menyamar.
Jika tidak demikian, data tidak akan didapat dan kasus tak akan terbongkar.
Terlebih lagi, resepsionis tersebut telah menghalang-halangi dan menghambat
kerja wartawan dibawahan tekanan deadline.
Maka, saya lebih sepakat Bernstein tidak berbohong, melainkan cerdik mengatasi
permasalahan. Jika tidak demikian, data paling penting dari kasus Watergate
teramat sukar diperoleh.
- Penulisan Berita dan Dinamika Ruang Redaksi
Ada kaitannya antara film ini dengan kiprah
wartawan pemula, terlebih lagi ia adalah pegiat pers mahasiswa. Secara
pengalaman – menurut pimpinan The Washington Post – Bob Woodwart belumlah
layak untuk meliput kasus setingkat skandal Watergate. Setelah bersitegang,
barulah Woodwart diizinkan.
Ada salah satu bagian diawal film yang
menyinggung soal dinamika keredaksian. Woodwart mengumpulkan hasil liputannya.
Namun, tulisan Woodwart dikoreksi oleh Bernstein yang lebih senior berkiprah
sebagai jurnalis. Mereka berdua berdebat soal kualitas tulisan. Bernstein
menganggap tulisan Woodwart tentang Watergate tidak mempunyai titik fokus. Lead
yang ditulis Woordwart tidak menentukan arah tulisan dan kejelasan orang yang
terlibat.
Sebagai seorang wartawan, terlebih pegiat
pers mahasiswa, kredibilitas seorang wartawan dipertaruhkan dalam tulisan. Maka
koreksi dari teman sesama wartawan sangat penting sebelum disiarkan ke
khalayak. Masyarakat akan bisa menilai kualitas wartawan bahkan juga media
tempat ia bernaung. Jika saja tulisan yang dibuat kacau, bisa jadi seorang
wartawan akan berperkara di Dewan Pers dan citra media yang bersangkutan akan
memburuk. Namun, apabila sebuah tulisan dapat dipahami maksud, arah, dan
substansinya, reputasi wartawan dan media yang bersangkutan juga meningkat.
Maka, aturan mengenai penulisan teras berita, tubuh berita, struktur kalimat, EYD, dan lain-lain
mesti diperhatikan betul-betul jika tak ingin bersinggungan dengan keredaksian
dan publik tentunya. Koreksi dari redaksi sih
biasa, namun judgement dari masyarakat yang cukup menyakitkan.
- Klarifikasi dan Follow up Berita.
Jika seorang wartawan menulis berita tanpa klarifikasi,
berarti itu wartawan gila. Woodwart dan Bernstein tidak gila tentunya. Tahapan
setelah mendapat data yakni klarifikasi. Woodwart dan Bernstein sangat ketat
dalam klarifikasi. Mereka hampir tidak menerbitkan beritanya karena sulit
mendapatkan klarifikasi. Padahal tekanan deadline dan redaktur begitu terasa. Sia-sia
rasanya jika puluhan data bahkan ratusan data telah dihimpun namun ketika
hendak menulisnya tidak mendapatkan klarifikasi. Mending tidak usah jadi menulisnya
daripada dikutuk massa karena menulis berita yang berat sebelah. Berita yang
kita tulis akan menjadi sumber fitnah dan sudah terjerat pelanggaran pidanan.
Maka berhati-hatilah!
Bernstein
dan Woodwart juga serius dengan perkembangan infomasi terkait Watergate. Berita
yang baik tentunya tak mencakup kulit luar, tapi mendalam dan terus diikuti
perkembangannya, inilah follow up.
Jika tidak demikian, tak mungkin dua wartawan ini dianugrahi penghargaan Putlizer.
Betapa tidak, berita yang ditulis dua wartawan ini mengungkap pelaku kriminal
yang melibatkan pejabat tinggi pemerintah, sampai tuntas, berakhir di pengadilan,
dan Nixon menyerah.
Selain dari sisi reportase, Woodwart dan Bernstein juga tak
cukup mengandalkan data tertulis dan wawancara. Untung saja Woodwart mengenal
Deep Throat yang berperan sebagai informan dalam penelusuran kasus. Hal ini berkaitan dengan
jaringan yang dimiliki seorang wartawan. Dalam kasus kriminal yang bersinggungan
dengan konspirasi politik pejabat tinggi pemerintah, anilisa dan jaringan jadi
salah satu jalan untuk mengungkap kasus. Bisa jadi Deep Throat adalah barisan
sakit hati Nixon, bisa juga nurani Deep Throat tak sejalan dengan praktek
spionase sehingga dengan mudah membocorkan rahasia kepada Woodwart.
Dalam kasus lain di Indonesia, hal ini juga dilakukan
wartawan yang tengah meliput kasus besar dan melibatkan pejabat tinggi. Dalam
kasus skandal pajak terbesar di Indonesia misalnya, Metta Dharmasaputra,
wartawan Majalah TEMPO, memanfaatkan orang dalam Polri untuk mendukung aksi
peliputannya. Sehingga, skandal pajak yang dilakukan Asian Agri Group dapat
terbongkar.
Kekurangan Film
Saat
diskusi bersama para awak Suaka dan anggota magang, Ajat sempat ngomong, “Bingung, tokohnya terlalu
banyak.” Hal serupa juga yang saya rasakan. Akibat dari tokoh yang begitu banyak,
saya sempat tidak fokus pada isi cerita, sehingga mengulang beberapa bagian
film. Namun, hal tersebut wajar apabila melihat isi cerita. Mengapa? All The
Presidents Men adalah film yang diangkat dari buku berdasarkan kisah nyata tentang
skandal Watergate. Dalam kenyataanya pun tokoh atau pelaku yang terlibat sangat
banyak. Hal ini cukup penting dilakukan agar penonton memahami film dan realita
sebenarnya tentang skandal Watergate. Nama-nama yang ada dalam film sangat
berpengaruh pada proses peliputan dan fakta terkait skandal Watergate tahun 1972. Penonton mesti tahu secara menyeluruh tentang Watergate dan siapa saja yang terlibat.
Saya tidak akan membahas dari segi sinematografi. Selain kurang paham akan hal
tersebut, saya kira film ini cukup memberikan pemahaman lebih jauh tentang film
dan Jurnalisme.
Data Film
Sutradara Alan : J. Pakula
Produser :
Walter Coblenz
Bru siap nnton film ini, trimakasih atas reviewnya! 🤗
BalasHapus